Yogyakarta – Politik devide et impera Belanda dan Inggris membuat Mataram terpecah menjadi empat kerajaan, yakni Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Generasi masa kini harus melupakan sejarah yang berujung perpecahan itu. Saatnya bersinergi bersama untuk membangkitkan ruh “sultan-agungan” dan meneruskan pengetahuan terhadap budaya dan tradisi pada generasi selanjutnya.
GKR Mangkubumi mengatakan, banyak sekali budaya-budaya, salah satunya aksara. “Menjadi PR kita bersama, PR yang selalu jadi tugas adalah bagaimana kemudian memaknai budaya itu sendiri, yang sekarang rupanya di generasi muda ini, banyak sekali dilupakan,” ungkapnya dalam acara Dialog Budaya dan Seni Yogyasemesta Seri-139 bertopik Memaknai Budaya Jawa, Menguatkan Pilar Kebangsaan di nDalem Tjokronegaran, Kemantren Kraton, Yogyakarta, Selasa, 21 Juni 2021 malam.
“Yogyakarta tidak boleh melupakan adat istiadat dan budaya, harus menghargai tradisi. Kolaborasi Jogja dan Solo bisa dilakukan oleh generasi sekarang,” ujar GKR Mangkubumi.
Baca Juga:
Keraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Paku Alaman merupakan pusat museum hidup kebudayaan Jawa. Tidak hanya menjadi tempat tinggal semata, empat Istana Jawa ini juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa. Menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat tentang budaya merupakan upaya yang terus dilakukan.
“Yogyakarta tidak boleh melupakan adat istiadat dan budaya, harus menghargai tradisi. Kolaborasi Jogja dan Solo bisa dilakukan oleh generasi sekarang”
Mewujudkan kerajaan sebagai Pusat Kebudayaan Jawa dengan melestarikan seni tari, membangun perpustakaan/museum berbasis digital, menggelar pertunjukkan budaya dengan konsep masa kini, adalah beberapa hal yang dilakukan untuk menjaga nilai yang melekat di dalamnya. Sehingga bisa membangkitkan minat generasi muda pada warisan budaya sendiri.
“Generasi muda mulai lupa dengan budaya, kesenian tradisional alangkah baiknya jika tetap dilestarikan dan jangan sampai lupa. Mungkin bisa dengan mengakulturasi budaya seperti membuat even tradisi dipadukan dengan teknologi, mengembangkan kesenian supaya lebih ramah dengan generasi muda,” ujar GRAj. Ancillasura Marina Sudjiwo.
Di lingkungan semua Kerajaan setidaknya kita mengenal ajaran filosofis Sangkan Paraning Dumadi dan Hamemayu-Hayuning Bawana yang menjadi basis pondasi kerajaan. Manunggaling Kawula-Gusti dan Golong-Gilig Tekad Nyawiji sebagai ajaran kepemimpinan yang merakyat, diaktualisasikan oleh Sri Sultan HB IX menjadi “Tahta untuk Rakyat”.
Sekarang adalah saatnya untuk membumikan nilai-nilai ajaran tersebut. Tidak hanya dimaknai secara harfiah, namun diwujudkan secara kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman. “Memang ada kesenjangan antara apa yang berkembang di Kraton dan Kadipaten dengan apa yang berkembang di masyarakat. Sekarang masyarakat bisa memilih pertunjukan dari seluruh dunia, kesenjangannya semakin besar. Saya mempunyai optimisme, dengan kemudahan akses konten bisa menarik minat generasi muda,” terang KPH. Notonegoro.
Tantangan yang dihadapi kemudian adalah kesiapan untuk bisa menyediakan konten-konten tersebut. KPH. Notonegoro memberikan contoh dari apa yang telah dilakukan Kraton dengan membuat akun media sosial seperti Instagram dan Youtube. Tidak hanya memiliki akun, tapi juga bisa menyajikan konten menarik secara kontinu.
Baca Juga:
Pada masa Sultan Agung, telah dibangun konsep dasar Kebudayaan Jawa yang khas. Setelah dikembangkan oleh Sri Sultan HB I dan dilanjutkan oleh Sri Sultan HB IX, kemudian menjadi dasar kebudayaan Kraton Yogyakarta. Oleh sebab itu Kraton mendapat pengakuan sebagai Pusat Kebudayaan.
Dialog ini adalah sebuah rintisan awal yang diharapkan bisa dikembangkan pada momentum Catur-Sagatra yang digagas Dinas Kebudayaan (Kundha kabudayan). Menjadi rangkaian kegiatan dalam perjalananan mewujudkan Pusat Studi Mataram. Melibatkan ahli trans disiplin dari kampus-kampus yang ada di Yogyakarta dan Surakarta. Bertujuan untuk menyatukan kembali Semangat Mataram. Dalam rangka menyongsong terbangunnya Trah Agung Mataram yang kumawula sebagai binding power Kota Kembar Surakarta-Ngayogyakarta. []
Source: Humas Pemda DIY