BacaJogja – Keberadaan Kesatuan Prajurit Wirabraja diperkirakan sudah ada sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dalam Serat Rerenggan Karaton, tercatat bahwa Prajurit Wirabraja menjadi salah satu kesatuan yang mengalami dampak demiliterisasi, sehingga kesatuan tersebut yang semula bermarkas di dalam tembok keraton, harus keluar dari tembok keraton.
Peristiwa ini terjadi pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Di sisi lain, ditemukan pula arsip kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono V, yang mencatat kesatuan Wirabraja menjadi salah satu prajurit yang mengiringi upacara penobatan Sultan.
Keberadaan Prajurit Wirabraja tercatat pula dalam naskah berjudul “Buku Gambar Prajurit Ngayogyakarta Hadiningrat” yang disusun semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pada masa Pendudukan Jepang, tahun 1942, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membubarkan seluruh kesatuan prajurit di keraton.
Baca Juga: Bregada hingga Ogoh-ogoh Ikut Kirab Budaya Hari Jadi ke-75 Donoharjo Sleman
Kemudian kesatuan prajurit kembali direvitalisasi oleh BRM Herjuno Darpito, tahun 1970, yakni untuk mengiringi seremonial penyambutan kedatangan Princess Wilhelmina dari Belanda di Keraton Yogyakarta.
Seperti halnya kesatuan lain, Prajurit Wirabraja dahulunya merupakan prajurit perang. Dalam Babad Ngayogyakarta tertulis bahwa Kesatuan Prajurit Wirabraja terdiri dari 80 orang dengan berbagai struktur dan kepangkatan.
Di dalam situasi perang, prajurit ini selalu berada pada barisan terdepan. Alasan inilah yang melatarbelakangi prajurit Wirabraja setelah diaktifkan kembali pada 1970, berada di barisan awal pada saat Hajad Dalem Garebeg saat ini.
Baca Juga: Mengenal Nama 10 Bregada Prajurit pada Garebeg Besar Keraton Yogyakarta
Perihal struktur, kesatuan prajurit Wirabraja terdiri atas: 2 orang panji yakni Panji Parentah dan Panji Andhahan, 2 orang sersan yakni sersan Sarageni dan sersan Sarahastra, 2 orang pembawa panji dan anggota prajurit yang lengkap dengan senjata senapan dan tombak. Prajurit pembawa senapan kemudian bertugas untuk membunyikan tembakan salvo di tengah alun-alun sebagai penanda gunungan telah turun dari Siti Hinggil menuju Masjid Gedhe.
Busana kesatuan prajurit Wirabraja didominasi warna merah sehingga sering disebut prajurit lombok abang. Jika diperhatikan saksama ciri khas busana prajurit Wirabraja terdapat pada topi centhung berwarna merah mirip lombok merah. Secara umum, seluruh prajurit Wirabraja menggunakan sikepan berwarna merah dengan baju dalam berwarna putih.
Busana ini lengkap dengan kamus dan timang, celana panji berwarna merah sampai lutut, kaos kaki polos, sepatu pantofel, serta sayak rempel putih susun tiga.
Baca Juga: 17 Kapanewon di Sleman Meriahkan Festival Bregada Prajurit Tradisional 2023
Terdapat perbedaan busana bagi prajurit berpangkat panji (lurah), sersan, jajar, maupun prajurit pembawa tombak. Perbedaan tersebut terletak pada lis emas yang terdapat pada sikepan serta sayak rempel putih.
Semakin tinggi pangkat prajurit, maka busananya akan dihiasi lis emas di bagian tepinya. Warna merah dari busana prajurit wirabraja pun memiliki arti berani seperti halnya nama lain wirabraja yakni watu geni ‘batu api’.
Klebet (bendera kesatuan) dari prajurit Wirabraja bernama Gula-klapa. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan chentung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya terdapat segi empat berwarna merah dan segi delapan berwarna putih pada bagian dalamnya.
Baca Juga: Ini Rute Iring-iringan 10 Bregada Garebeg Sawal Keraton Yogyakarta
Gula-klapa berasal dari kata gula dan kelapa. Gula yang dimaksud adalah gula Jawa yang berwarna merah, sementara kelapa berwarna putih. Klebet ini memiliki makna bahwa Wirabraja adalah pasukan yang berani membela kesucian dan kebenaran.
Sementara senjata yang digunakan oleh anggota prajurit Wirabraja adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Slamet dan Kanjeng Kiai Santri dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Manggaran/ Catursara/ Crengkeng.
Pada saat berjalan cepat (mars) Bregada Prajurit Wirabraja diiringi dengan Gendhing Dhayungan. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Reta Dhedhali. Terdapat dua irama alamat musik.
Baca Juga: Puncak Hari Jadi Bantul ke-191 Upacara, Lomba dan Kirab Bregada
Pasca demiliterisasi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, kesatuan prajurit Wirabraja bertempat tinggal di satu kawasan sisi barat dari tembok keraton. Kawasan tersebut kemudian dikenal dengan nama Wirabrajan yang berasal dari nama Wirabraja.
Secara administratif, kawasan Wirabrajan merupakan kemantren (kecamatan) yang memiliki luas wilayah 1,76 km2 dan berada dalam wilayah Kota Yogyakarta.
Di kematren tersebut terdapat 34 RW dan 165 RT dengan jumlah penduduk 27990 orang yang terdiri dari laki-laki 13642 orang dan perempuan 14348 orang.
Dahulu banyak anggota prajurit Wirabraja yang tinggal di kampung Wirabrajan. Namun demikian, kondisi tersebut tidak berlaku saat ini karena telah dihuni oleh masyarakat umum tanpa harus memiliki latar belakang sebagai bagian dari kesatuan Prajurit Wirabraja. []
Source : Keraton Yogyakarta/berbagai sumber