Wartawan Senior Itu Meraih Gelar Doktor Gegara Ucapan Sultan

  • Whatsapp
Octo Lampito
Octo Lampito (Istimewa)

BacaJogja – Octo Lampito, seorang wartawan senior di Yogyakarta berhasil meraih gelar doktor di Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Penganugerahan gelar doktor digelar pada Rabu, 24 Juli 2024.

Disertasi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Kedaultan Rakyat ini mengambil judul Amanat Sultan HB X Dalam Teks Sapa Aruh Menghadapi Pandemi (Kajian Semantik Kultural).

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: UMY Launching Beasiswa Sepak Bola Wujud Peduli Pembinaan Bakat Mahasiswa

Octo dalam abstraksi disertasi menyatakan, Pidato sapa aruh Sri Sultan HB X merupakan suatu amanat raja bagi warga di Yogyakarta. Isi dari pesan dalam sapa aruh memuat makna baik secara konseptual, asosiatif, dan tematik yang perlu dipahami oleh masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan makna konseptual, makna asosiatif, dan makna tematik dari pidato sapa aruh Sri Sultan HB X yang disampaikan selama masa pandemi Covid-19 melanda Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan analisis konten. Data penelitian berupa satuan-satuan lingual dalam teks pidato, dengan sumber data 7 (tujuh) teks pidato sapa aruh Sri Sultan HB X selama masa pandemi Covid-19.

Baca Juga: Geplak Madu: Solusi Aman dan Mudah Melaporkan Perundungan di Bantul

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, baca, dan catat, serta wawancara mendalam. Instrumen penelitian berupa pedoman wawancara, kartu data, dan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif. Validitas data dilakukan dengan validitas semantis dan triangulasi sumber, serta menggunakan reliabilitas stabilitas.

Hasil penelitian, antara lain bahwa secara konseptual pidato Sapa Aruh adalah komunikasi antara seorang raja sekaligus Gubernur kepala daerah dengan rakyatnya yang berbeda dengan pidato sebelumnya. Dalam komunikasi tersebut, bukan semata-mata memberikan perintah sebagai kepala daerah, namun metafora konseptual menggunaan struktur domain sumber yang berkolerasi dengan domain target. Lebih memberikan makna bahwa rakyat adalah sosok manusia sebagai mahluk Tuhan, bukan sekadar bawahan.

Baca Juga: Tawuran Pelajar Kembali Pecah di Yogyakarta, Viral di Media Sosial

Teks Sapa Aruh membangkitkan kesadaran masyarakat, agar dalam menghadapi Pandemi Covid-19 lebih bersifat rasional namun tetap mengindahkan martabat orang Jawa yang percaya pada makna filosofi Jawa. Pidato tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pandemi tidak harus dihadapi dengan panik dalam segalanya. Filosofi Jawa yang selama ini banyak dilupakan, kaya makna untuk menghadapinya.

Pidato sapa aruh sebagai peristiwa budaya. Hubungan sosial antara Raja dan rakyatnya yang menjalankan perintah pimpinan adalah wujud dari kebudayaan. Pidato Sapa Aruh memberikan makna budaya Jawa dan kearifan lokal untuk kebersamaan.

Baca Juga: Yogyakarta Panen Raya Bawang Merah Glowing di Lahan 125 Hektare

Bahasa adalah identitas sosial dalam masyarakat, karena stratifikasi sosial Implikasi Teoritis, antara lain :
– Menambah khasanah bahwa budaya bangsa tetap menarik untuk terus dilestarikan dan dikaji. Mengingat kemajuan teknologi yang semakin dahsyat, frekuensi arus global barat yang semakin merasuk tidak terbendung yang terkadang berdampak melupakan budaya adiluhung bangsa kita. Budaya bangsa kita kini dalam jurang poses dilupakan.

– Menambah pengetahuan dalam bidang etnolingustik, karena penelitian ini menitik beratkan pada posisi bahasa Jawa dalam konteks sosial dan budaya bangsa yang lebih luas. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk mempelajari lebih luas struktur dan makna bahasa, berdasarkan cara pandang budaya penuturnya.

Baca Juga: Perlu Banget Dorongan GKR Mangkubumi, Kenapa?

Saran antara lain
– Kearifan lokal dan filosofi Jawa terbukti budaya bangsa kita yang punya martabat, namun apakah generasi milenial dan generasi z mampu dan memahami dan melestarikannya. Maka penelitian berikutnya diharapkan meneliti filosofi dan kearifan lokal Jawa dalam pandangan generasi tersebut.

Hasil penilitian teks pidato Sapa Aruh menujukkan bahwa dalam teks banyak terdapat metafora. Maka diperlukan kajian lebih dalam mengenai metafora agar masyarakat lebih paham mengerti mengenai metafora tersebut.

Ada lima guru besar yang menguji disertasi Octo Lampito ini. Mereka adalah Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes., AIFO (Rektor UNY/Ketua Tim Penguji), Prof. Dr. Dra. Endang Nurhayati, M. Hum. (Sekretaris Penguji /Kopromotor), Prof. Dr. Drs. Suminto A. Sayuti (Promotor), Prof. Dr. Drs. Anwar Efendi, M.Si., Prof. Dr. Dra Sri Harti Widyasturti, MM.Hum, dan Prof. Sahid Teguh Widodo, S.S, M.Hum, Ph.D (Penguji Eskternal/UNS).[]

Related posts