Tuberkulosis Mengancam: Langkah Nyata untuk Menekan Angka Kematian

  • Whatsapp
tuberkulosis
Ilustrasi tuberkulosis (Istimewa)

BacaJogja – Tuberkulosis (TB) kembali menjadi perhatian dunia setelah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan peningkatan kasus baru yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2023, sebanyak 8,2 juta kasus baru tercatat, menjadikan TB sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular, melampaui COVID-19. Indonesia pun menghadapi tantangan besar sebagai negara dengan beban TB tertinggi kedua di dunia.

Menurut Guntur Surya Alam, Founder Lekasehat, tantangan besar dalam pengendalian TB adalah kesadaran masyarakat yang masih rendah. “Masih banyak masyarakat yang tidak paham gejala TB. Padahal, deteksi dini adalah kunci untuk menghentikan penularan,” ujarnya saat diwawancarai, Senin (20/1).

Read More

Baca Juga: Anak Buah Demo Menteri Satryo, Diduga Gegara Suka Marah dan Main Pecat Sepihak

Indonesia menyumbang 10% dari total kasus TB global, dengan sekitar 1 juta kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini diperburuk oleh faktor sosial seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, dan akses kesehatan yang terbatas.

“TB ini bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga sosial. Malnutrisi, kebiasaan merokok, dan minimnya edukasi kesehatan menjadi akar permasalahan,” tambah Guntur. Ia menegaskan perlunya pendekatan yang terintegrasi untuk menangani masalah ini.

Faktor Risiko yang Mengintai

WHO mengidentifikasi lima faktor risiko utama TB, yaitu:

  1. Kekurangan gizi – Menurunkan daya tahan tubuh.
  2. Infeksi HIV – Meningkatkan risiko TB aktif hingga 30 kali lipat.
  3. Merokok – Merusak saluran pernapasan.
  4. Penggunaan alkohol – Melemahkan fungsi imun tubuh.
  5. Diabetes – Menyebabkan imunosupresi.

Baca Juga: Kemenag Imbau Kantor dan Perguruan Tinggi Se-Indonesia Pasang Ornamen Imlek

Guntur juga menyoroti peran gaya hidup sehat dalam pencegahan. “Kampanye hidup sehat harus diperkuat. Masyarakat perlu tahu bahwa TB bisa dicegah dengan pola makan bergizi dan menghindari kebiasaan merokok,” jelasnya.

Menurut dia, kesenjangan diagnostik menjadi tantangan serius. Sebanyak 2,7 juta kasus TB baru tidak terdiagnosis pada 2023. Selain itu, resistensi obat TB (MDR/RR-TB) semakin mempersulit penanganan.

“Resistensi obat TB ini seperti bom waktu. Jika tidak ditangani, dampaknya bisa jauh lebih buruk. Kita butuh alat diagnostik yang cepat dan mudah diakses,” kata Guntur.

Baca Juga: Waspada Cuaca Ekstrem di Yogyakarta, BMKG: Potensi Hujan Lebat 20-22 Januari 2025

Sebagai langkah nyata, Guntur menyatakan perlunya program berbasis komunitas untuk meningkatkan kesadaran dan akses kesehatan. Program ini mencakup pelatihan deteksi dini TB bagi tenaga kesehatan lokal dan edukasi langsung kepada masyarakat.

“Kami percaya, perubahan besar dimulai dari hal kecil. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat adalah kunci untuk melawan TB,” tegas Guntur.

Guntur menggarisbawahi bahwa Tuberkulosis tetap menjadi ancaman global yang membutuhkan perhatian serius. Dengan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, komunitas, maupun sektor swasta, Indonesia dapat menekan angka kasus dan kematian akibat TB.

“Ini bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga kesehatan, tapi tanggung jawab kita bersama. Kita harus bergerak sekarang, sebelum terlambat,” tutur Guntur. []

Related posts