BacaJogja – Setiap budaya memiliki cara unik untuk memperingati peristiwa besar dalam sejarah. Di Keraton Yogyakarta, peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW dirayakan melalui tradisi Yasa Peksi Burak, sebuah ritual sakral yang sarat makna simbolis. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap perjalanan spiritual Nabi, tetapi juga menunjukkan kekayaan nilai budaya dan religius yang diwariskan oleh leluhur Keraton Yogyakarta.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk memperingati hari-hari besar Islam lainnya, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tahun ini, Isra Mikraj bertepatan dengan 27 Rajab 1446 Hijriyah. Mengacu pada Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Kementerian Agama RI, 27 Rajab 1446 Hijriyah jatuh pada Senin, 27 Januari 2025.
Momentum ini kerap dirayakan dengan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya yang mengedepankan nilai-nilai ajaran Nabi Muhammad SAW.
Simbolisme di Balik Yasa Peksi Burak
Yasa Peksi Burak menampilkan Peksi Burak, figur imajiner berbentuk burung yang dibuat dari kulit jeruk bali. Figur ini melambangkan kendaraan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mikraj. Peksi Burak diletakkan di atas pohon buah yang dirangkai dari tujuh jenis buah lokal, seperti salak, sawo, jeruk bali, rambutan, manggis, apel malang, dan pisang raja. Setiap unsur yang digunakan memiliki makna mendalam, mulai dari angka tujuh yang melambangkan harapan akan keselamatan hingga pisang raja yang menjadi simbol pengayoman Sultan kepada rakyatnya.
Selain itu, pohon bunga yang menjadi pelengkap prosesi ini melambangkan keindahan taman surga, menciptakan harmoni antara nilai estetika dan spiritualitas.
Proses Yasa Peksi Burak
Tradisi ini berlangsung dalam beberapa tahap yang penuh makna:
- Pagi Hari
Pembuatan Peksi Burak dan pohon buah dilakukan di Bangsal Sekar Kedhaton oleh para Abdi Dalem wanita dan kerabat Sultan. - Setelah Ashar
Peksi Burak diarak menuju Masjid Gedhe melalui Regol Kamandungan Lor dan Alun-Alun Utara. - Di Masjid Gedhe
Prosesi doa dilaksanakan untuk Sultan, keluarga keraton, dan rakyat Yogyakarta. - Puncak Acara: Malam Hari Setelah Isya
Tradisi diakhiri dengan pembacaan kitab tentang Isra Mikraj yang dipimpin oleh Kiai Pengulu. Masyarakat diajak mengelilingi Peksi Burak sambil mendengarkan hikmah perjalanan Nabi, menciptakan suasana khusyuk dan penuh makna.
Harmoni antara Budaya dan Spiritualitas
Yasa Peksi Burak bukan sekadar tradisi, tetapi juga bentuk pengingat akan pentingnya menjaga harmoni antara spiritualitas dan kehidupan sehari-hari. Melalui ritual ini, Keraton Yogyakarta mengajarkan bahwa nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur dapat menjadi panduan dalam menjalani kehidupan yang penuh berkah.
Tradisi Yasa Peksi Burak adalah bukti nyata bahwa budaya bukan hanya tentang estetika, tetapi juga pesan universal yang relevan di setiap zaman. Dengan prosesi yang sarat simbolisme ini, Yogyakarta terus memperkaya warisan budaya bangsa, sekaligus mempererat hubungan masyarakat dengan nilai-nilai spiritual. []