Quo Vadis IDI: Mencari Arah di Tengah Badai

  • Whatsapp
dokter
Dokter (Istimewa)

Guntur Surya Alam
Founder Lekasehat/Dokter Spesialis Bedah Anak/Konsultan

Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang akan digelar di Lombok seharusnya menjadi momentum refleksi dan perumusan strategi bagi ribuan dokter dari seluruh negeri. Namun, di balik perhelatan akbar ini, bayang-bayang kegelisahan dan tantangan besar menyelimuti organisasi yang telah berdiri sejak era perjuangan kemerdekaan ini.

Read More

Selama tiga tahun terakhir, IDI telah berlayar dalam badai sempurna. Dari berbagai penjuru, organisasi ini dihantam gelombang perlawanan—baik dari pihak eksternal maupun dari dalam tubuhnya sendiri.

Antara Mitra Strategis dan Kebijakan Toksik

Sebagai organisasi profesi, IDI seharusnya mendapat dukungan dari Kementerian Kesehatan sebagai mitra strategis dalam membangun sistem kesehatan nasional. Namun, kenyataan berkata lain. Alih-alih memperkuat sinergi, Menteri Kesehatan justru menunjukkan sikap antipati terhadap profesi dokter. Sejumlah kebijakan yang diluncurkan bukan hanya mengabaikan etika kedokteran, tetapi juga berpotensi mencederai martabat profesi.

Baca Juga: Tiga Mobil Terlibat Kecelakaan Beruntun di Jalan Jogja-Wates Kulon Progo

Opini publik pun digiring ke arah yang merugikan dokter, seolah-olah mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi dalam sistem kesehatan. Ini menjadi pukulan telak bagi IDI, yang selama ini berjuang menjaga marwah profesi di tengah kompleksitas tantangan yang ada.

Dendam Lama dan Perpecahan Internal

Tak hanya dari eksternal, ancaman terhadap IDI juga muncul dari dalam. Ada pihak-pihak yang masih menyimpan dendam lama dan berusaha mengoyak organisasi ini. Mereka mengangkat isu-isu yang membuat IDI tampak buruk di mata publik, tanpa menyadari bahwa kehancuran organisasi ini juga akan merugikan mereka sendiri.

Di sisi lain, segelintir anggota lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kesejawatan. Bagi mereka, IDI bukanlah wadah pengabdian, melainkan panggung untuk meraih kepentingan tertentu. Jika kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada integritas organisasi, maka bukan tidak mungkin IDI akan kehilangan jati dirinya sebagai rumah besar para dokter.

Saatnya Bangkit, Saatnya Bersatu

Muktamar di Lombok bukan hanya ajang memilih pemimpin baru, tetapi juga kesempatan untuk merumuskan strategi kebangkitan. IDI harus menegaskan kembali posisinya sebagai organisasi profesi yang independen, solid, dan bermartabat.

Baca Juga: Candi Sewu: Wisata Sejarah yang Sarat Legenda Roro Jonggrang di Yogyakarta

Perbedaan pendapat dalam organisasi adalah hal yang wajar, tetapi jangan sampai perbedaan ini justru menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, perbedaan harus disikapi dengan kedewasaan dan semangat kesejawatan. Rangkaian peristiwa tiga tahun terakhir harus menjadi pelajaran bahwa energi yang terkuras untuk konflik internal hanya akan melemahkan IDI, sementara ancaman dari luar terus mengintai.

Musuh sejati bukanlah sejawat yang berbeda pandangan, melainkan pihak-pihak yang ingin merusak profesi dokter dan menggerogoti soliditas IDI. Ini adalah musuh bersama yang harus dihadapi dengan strategi yang matang, bukan dengan pertengkaran di dalam rumah sendiri.

Layar Harus Dikembangkan, Arah Harus Ditegaskan

Sejarah telah membuktikan bahwa dokter adalah pejuang, sejak era Boedi Oetomo hingga saat ini. Militansi dan dedikasi itu sudah tertanam dalam DNA setiap anggota IDI. Maka, muktamar kali ini harus melahirkan rekomendasi yang jelas: ke mana arah IDI ke depan? Bagaimana organisasi ini akan bangkit dari badai?

Lombok akan menjadi saksi—saksi kebangkitan kembali IDI. Jika para dokter mampu bersatu dan mengedepankan kesejawatan, maka tak ada badai yang mampu menenggelamkan organisasi ini. IDI harus bangkit, menjaga marwah profesi, dan kembali berlayar menuju samudera luas dengan layar yang tegak dan hati yang teguh.

Bersatulah semua sejawat IDI !!!

Related posts