Mengenal Benteng Baluwarti Peninggalan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB II

  • Whatsapp
ilustrasi plengkung wijilan
Ilustrasi Plengkung Wijilan atau Tarunasura karya Sri Sultan HB II. (Foto: Keraton Yogyakarta)

BacaJogja – Hari ini, Minggu, 8 Januari atau Jumadilakir Ehe 1956, merupakan haul atau hari wafat Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828).

Raja kedua di Keraton Yogyakarta ini semasa hidupnya bertakhta selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan 1826 – 1828. Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga, Penerus takhta Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I ini dikenal dengan julukan Sultan Sepuh. Masa jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta.

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: Mengenal Plengkung Tarunasura di Wijilan Panembahan Kraton Yogyakarta

Raja kedua di Keraton Yogyakarta ini semasa bertakhta membentuk korps atau satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik hingga membangun benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.

Benteng tersebut terdiri dari lima plengkung, yang kini tinggal dua dan empat pojok benteng seperti yang dikenal saat ini. Untuk mengenang jasa Sultan Sepuh ini, gambar ilustrasi pada artikel ini merupakan salah satu peninggalan HB II yakni Plengkung Wijilan.

Baca Juga: Kereta Kencana Kiai Garuda Yeksa, Hadiah Kerajaan Belanda untuk Sri Sultan HB VI

Plengkung Wijilan atau yang juga dikenal dengan Tarunasura ini terletak di sisi timur Alun-alun Utara dan kini masuk dalam wilayah administratif Kota Yogyakarta.

Selain itu, Sri Sultan HB II melahirkan karya sastra Babad Mangkubumi. Beliau memprakarsai penulisan Babad Mangkubumi bersama R.Ng. Cokrowijoti dan R.Ng. Cokrokerti. Selain itu juga menghasilkan Serat Suryaraja dan Serat Sekonder.

Baca Juga: Sejarah Panggung Krapyak, Bangunan Penting dalam Sumbu Imajiner Yogyakarta

Semula tidak ada lembaga khusus yang menyimpan karya sastra, semuanya disimpan di kediaman Sultan, Gedong Prabayeksa. Tradisi penulisan sastra kemudian terhenti karena peristiwa Geger Sepehi (1812). (Keraton Yogyakarta)

Related posts