BacaJogja – Sumodiningrat merupakan tokoh masyarakat di zamannya. Dia menempati rumah di kampung Ngadinegaran, Kota Yogyakarta.
Dalam ceritanya, Sumodiningrat merupakan Tumenggung pada masa Hamengkubuwana II. Dia menjadi korban dari serangan Raffles ke Yogyakarta pada tahun 1812. Rumahnya dihancurkan dan harta bendanya dijarah.
Nama Sumodiningrat sendiri dihilangkan sebagai nama bangsawan di Kasultanan Yogyakarta. Hingga kini nama itu tidak boleh dipakai lagi sampai sekarang. Dalam konteks sejarah, Sumodiningrat dipakai untuk menggambarkan situasi “terpinggirkan”.
Baca Juga: Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Festival Kebudayaan Mataraman
Untuk mengenangnya, seniman dan warga menggelar Amanat Mulia Usaha Kampung atau AMUK. Dalam kegiatan ini, memori kolektif warga digunakan sebagai pengikat dan identitas kultural proyek seni kolaborasi seniman dan warga.
Kegiatan AMUK 1812 bertajuk Dwi Nata Bebayaning Buwana yang digelar pada 23 Juli-29 Juli 2023 bertempat di Kampung Ngadinegaran dan Danunegaran. Pada kegiatan ini juga menghadirkan undangan seperti Peter Carey (Sejarawan dan Penulis), Rsi Brahmana, Fajar Wijanarko, dan seniman-seniman pada perhelatan mural “Lengah Sejarah” di area Kampung Ngadinegaran.
Baca Juga: Jogja Art Night, Pertunjukan Seni Kolaborasi Budaya Bali dan Yogyakarta
Serangkaian kegiatan AMUK 1812 terdiri dari beberapa kegiatan, yang antara lain: Teater “Bedhahe Kraton Ngayogyakarto” akan membahas tema penyerangan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812 dalam perspektif masyarakat kampung pada hari ini.
Teater ini akan menempatkan artefak-artefak yang berhubungan dengan penyerbuan Yogyakarta 1812 sebagai subyek dalam penciptaannya. Artefak-artefak tersebut akan dihubungkan dengan teknologi masa kini, yaitu: video mapping.
Performans “Sepehi Jebol Beteng” merupakan arak-arakan menggunakan patung bergerak yang diarak dari Pojok Beteng Utara Timur Jogja menuju bekas kediaman Sumodiningrat.
Baca Juga: Keindahan dan Keunikan Budaya Yogyakarta Tersaji di Jogja Manggatra 2023
Merekonstruksi penyerbuan Inggris yang menghancurkan Keraton Yogyakarta. Koreografi “Kebo Nglokro” adalah tari yang menggunakan instalasi berbentuk kerbau dan digerakkan dengan komposisi gerak tertentu dan dipentaskan di area kampung Ngadinegaran yang merupakan bekas kediaman Sumodiningrat.
Pameran Visual “Lengah Sejarah” Pameran ini berupa mural dan Video mapping diproyeksikan pada reruntuhan sisa bangunan yang terdapat di area Ngadinegaran. Pasar Tutur Tular.
Pasar ini diadakan selama festival berlangsung sebagai transaksi pertukaran pengetahuan, skill, pengalaman, hiburan, dan narasi antara pengunjung dan warga berkaitan dengan sejarah dengan beberapa cara, antara lain lokakarya masakan Jawa, lokakarya pemandu wisata dan pembacaan Babad Panular.
Baca Juga: Saksikan! Ruwat Bumi 22 Kalurahan Budaya Bantul dan Kota Yogyakarta
Kegiatan AMUK melakukan inovasi dengan mencoba memahami sejarah lewat serangkaian media seni; tari, lokakarya, pawai, teater, seni rupa. Media itu dipakai untuk mempermudah, memperjelas konteks sejarah yang rumit dan berlapis-lapis.
Inovasi juga diterapkan dalam penggunaan teknologi. Seperti, teater yang menggunakan video mapping untuk menunjang visual panggung dan menampilkan kemasalaluan, Pawai dengan patung kinetik, menciptakan koreografi, diskusi dengan berbagai media perantara.
Sehingga kegiatan ini hadir lebih kontemporer dan multimedia. Dengan menggunakan beragam media menjadi cara yang lebih cair, relevan, dan kritis untuk memahami sejarah tempat tinggalnya. []