BacaJogja – Nikita Nur Hijriyati penyandang disabilitas Hard of Hearing dan minor cerebral palsy punya semangat baja. Baginya, tak ada alasan seorang disabilitas tidak melanjutkan studi. Nikita membuktikan itu.
Pada Rabu, 22 Mei 2024 menjadi hari bahagia buatnya. Ia diwisuda bersama 1422 wisudawan wisudawati lainnya pada Upacara Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode III Tahun Akademik 2023/2024 di Grha Sabha Pramana, Bulaksumur.
Dia sangat bersyukur. “Saya bersyukur bisa lulus dan diwisuda dari Program Studi D4 Pembangunan Ekonomi Kewilayahan. Alhamdulilah,” katanya terbata.
Baca Juga: Mengenal Tari Klana Alus Dasalengkara yang Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Yogyakarta
Cukup berliku upaya Nikita dalam menyelesaikan studi. Sebagai penyandang hard of hearing dan minor celebral palsy, ia mengaku mengandalkan lip reading atau membaca gerak bibir dalam perkulihan. Visual dan auditori menjadi tipe gaya belajarnya selama 6 tahun 8 bulan.
Ia pun merasa bersyukur karena selama perkulihan para dosen memperlakukannya dengan baik. Para dosen memberi jalan untuk memudahkan mengikuti perkuliahan, terutama terkait dengan listening dalam praktikum bahasa inggris dan tugas-tugas presentasi. “Para dosen baik, dan memaklumi tulisan tangan saya buruk karena tidak bisa menulis rapi,” akunya.
Nikita mengaku mendapatkan pengalaman berkesan dan tidak akan pernah dilupakan. Pengalaman berkesan itu saat dirinya mengikuti Kuliah Kerja Nyata. Meski KKN secara online, ia ditunjuk menjadi koordinator mahasiswa tingkat sub unit (kormasit).
Baca Juga: Sebenarnya Kenaikan UKT Dibatalkan atau Ditunda? Ini Kata Presiden Jokowi
Dengan penunjukan itu ia membuktikan bahwa seorang disabilitas mampu menjadi koordinator dan berkomunikasi dengan masyarakat walaupun dalam kondisi pandemi.
Tidak hanya itu, iapun selama kuliah aktif berkegiatan di UKM Peduli Difabel untuk memperjuangkan pendirian Unit Layanan Disabilitas yang tidak lama lagi akan diresmikan.
“Para dosen di kampus sebenarnya juga mengajak saya terlibat kegiatan asistensi, seperti akreditasi prodi dan penelitian, dan saya sangat bersyukur dengan banyak aktif di berbagai kegiatan, saya pun berkesempatan mendapat Beasiswa Pertamina Sobat Bumi pada tahun 2019,” terangnya.
Baca Juga: Kabar Gembira, Mendikbudristek Nadiem Makarim Akhirnya Resmi Batalkan Kenaikan UKT
Perjalanan Nikita di masa lampau tidak selalu mulus. Saat duduk di bangku kelas XI SMA ia pernah dikeluarkan dari kelas ekonomi pada saat ulangan harian. Hal ini dikarenakan guru pengampu tidak tahu jika dirinya tidak bisa mendengar dan tidak bisa menulis cepat.
Peristiwa ini begitu melukainya dan membuatnya sempat membenci pelajaran ekonomi. Di sisi lain ia munyukai pelajaran geografi yang pada akhirnya menuntunnya memilih Program Studi D4 Pembangunan Ekonomi Kewilayahan UGM.
“Sempat saya benci mata pelajaran ekonomi. Namun seiring setelah kuliah, saya menjadi suka ekonomi. Terima kasih untuk Kak Jesita Mapres FEB angkatan 2016 telah membuat saya sadar bahwa ilmu ekonomi ini amat luar biasa,” ungkapnya.
Baca Juga: Refleksi Mengenang 18 Tahun Gempa Jogja 27 Mei 2006
Nikita terlahir sudah menyandang minor celebral palsy, dan saat duduk di bangku Sekolah Dasar pendengarannya mulai mengalami gangguan karena sakit. Bahkan sewaktu kecil hampir tidak bisa berjalan, dan ia baru bisa berjalan secara normal pada umur 2 tahun.
Meski tinggal di desa Nginggil, Bendo, Sukodono, Sragen, Nikita melalui sebagian pendidikan di kota. Meski berjarak dari rumahnya, kedua orang tuanya mengaku menghendaki seperti itu.
Karenanya ia melalui pendidikan Sekolah Menegah Pertama di SMP IT Az-Zahra Sragen, dan SMA Negeri 1 Sragen. Nikita mengaku selalu disekolahkan orang tuanya di sekolah umum dan tidak pernah di sekolah luar biasa.
Baca Juga: Daftar Harga Mobil Listrik di Indonesia, dari Rp189 Juta hingga Rp3,59 Miliar
“Kendalanya saya didiskriminasi, dan sama teman pernah diejek juga. Karena tidak bisa berolahraga, saya selalu ada tugas tambahan untuk pelajaran olahraga. Untuk teori itu saya bisa, dan sempat masuk SMA favorit yaitu SMA 1 Sragen selama setahun. Tetapi kemudian pindah karena tidak betah dengan perlakuan teman dan guru,” kenangnya bersedih.
Kini lulus dengan IPK 3,37, Nikita berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa melanjutkan pendidikan S2 dengan pembiayaan LPDP. Ia sangat berharap terus bisa berkontribusi untuk masyarakat terutama dalam memperjuangkan hak disabilitas.
Menurut Nikita UGM sudah cukup mampu memberikan layanan yang dibutuhkan mahasiswa disabilitas. Ia mengaku dosennya baik-baik dan suportif yang menjadikannya bisa belajar hal terkait spasial di program studi yang ditekuninya.
Baca Juga: Perang Dunia I Sebelum Ada Bom, Pesawat Hujani Musuh dengan Anak Panah Baja Flechette
Ia pun mampu menemukan banyak teman di UKM Peduli Difabel UGM yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Pada akhirnya ia pun mampu menjalin banyak relasi.
“Sedihnya pernah kehilangan laptop saat mengerjakan tugas akhir. Saya berharap nantinya ada semacam kerja sama antara kampus dengan pemerintah, perusahaan, organisasi terkait penyediaan lapangan kerja untuk fresh graduate disabilitas,” harapnya.
Suripto, ayahnya yang seorang guru dan Eny Muryaningsih, ibunya yang seorang tenaga kesehatan mengucap syukur atas karunia Rahmat Allah Swt. yang menjadikan Nikita mampu menyelesaikan pendidikan dan lulus dari UGM. Keduanya sangat berharap semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat, barokah, dan Nikita segera bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
“Sebagai orang tua tentu merasa terharu, bangga melihat Nikita bisa menyelesaikan studi di UGM. Walaupun dengan keterbatasan yang dimiliki masih bisa berkompetensi dalam meraih cita cita. Semoga ini bisa menginspirasi untuk kedua adiknya, Hanifah dan Hanif,” ujar Suripto. []