BacaJogja – Khotimatul Husna S.Ag, MH masuk dalam Daftar Nominasi 10 terbaik Penyuluh Agama Islam Award Tahun 2024. Khotim, sapaan akrabnya, menjadi salah satu nominasi berkat edukasi di kalangan remaja untuk percepatan dan penurunan stunting dengan tajuk Gerak Cepat Penyuluh Peduli Stunting (Gercep Penting).
Siapa Khotimatul Husna? Mengutip dari Ensiklopedia Khittah NU, NU dan Tokoh-Tokoh Penting, karya Nur Khalik Ridwan, Khotim merupakan penggerak di kalangan perempuan Nahdliyin, mengampu pengajian di beberapa majlis Pengajian, dan mengorganisir pembentukan Garfa (Garda Fatayat) untuk pertama kalinya dari kalangan Fatayat NU di seluruh Indonesia.
Fenomena Garfa adalah hal baru, karena sebelumnya, Banser Perempuan (dengan nama Fatser, Fatsus, denwatser, dan sejenisnya) masih di bawah GP Ansor dan Banser. Garfa ini menjadi penggerak Fatayat yang memiliki ketugasan di bidang keprotokoleran, pertolongan pertama (rescue), isu kebencanaan, dan beberapa yang lain.
Baca Juga: Ini Jumlah Penerima Bansos “Semangat” di Sleman Senilai Rp150.000 selama 12 Bulan
Khotim lahir di kelurahan Plesungan, Kecamatanm Kapas, Bojonegoro, 27 Maret 1976. Khotim anak dari H. Anwar Dawud dan ibu Hj. Siti Maskanah.
Ayah Khotim masih keturunan dari Mbah KH. Qomaruddin, Bungah Gresik, melalui Anwar Dawud bin Yakub bin Salim, bin Zakaria, bin Abdurrahim, bin Harun, bin KH. Qomaruddin (Bungah, Gresik). Sedangkan dari pihak ibu, masih punya hubungan keluarga dengan pondok Ar-Rasyid dan Pondok Abu Darin; dan menurut catatan silsilah keluarga, Hj. Maskanah dari keturunan Mbah Marpuah binti Asiyah binti Amiroh binti Mu’min bin Joyo Taruno, bin Abdul Syukur, bin Mbah Gaji (Bonang, Lasem), bin Bargiyo (Sumedang Lor), bin Pangeran Jabel Nyowo (Marto Seputro) di Mataram, yang menikah dengan salah satu putri Pangeran Diponegoro.
Awalnya, Kelurahan Plesungan merupakan daerah yang belum banyak tersentuh oleh tradisi santri. Sang ayah dan ibunya yang aktivis Fatayat NU, merintis musala dan diniyah Ulul Albab, yang kemudian berkembang memiliki pondok dan pendidikan dari PAUD, TK, MI, MTs, dan MA.
Baca Juga: Jadwal Lengkap Kedatangan Jemaah Haji Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah
Ibunya juga pernah menjadi wakil ketua PC Muslimat Bojonegoro, selain ngajar ngaji di pondok yang didirikan, dan merintis rumah sakit dengan para aktivis muslimat lain. Sedangkan sang ayah, selain ngajar ngaji juga berprofesi sebagai pedagang. Khotimatul Husna, merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara, dan orang tuanya, mengirimkan sebagian anak-anaknya ini ke pondok, dan di antara anak itu adalah Khotimatul Husna.
Sewaktu kecil, Khotim mengaji dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an kepada ayah dan Ibunya sendiri. Khotimatul Husna kemudian menempuh pendidikan formal tingkat dasar di MIM (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, di Kapas (1983-1989). MIM ini adalah sekolah swasta yang paling dekat dengan kampungnya.
Setelah itu, Khotim menempuh pendidikan di MTS al-Islamiyah, Talun Sumberejo (1989-1992), yang ada di Pondok Attanwir; dan diteruskan ke Madrasah di MA Al-Islamiyah, yang juga di Pondok Attanwir (1992-1995). Ketika di Pondok Attanwir ini, Khotim sudah aktif di OSIS MA al-Islamiyah.
Pondok Attanwir ini, mulanya sebuah musala berkayu jati yang didirikan oleh H. Idris. Selain untuk menjalankan ibadah bersama masyarakat di sekitarnya, musala ini juga untuk mempersiapkan anaknya yang masih mondok di Pondok Maskumambang, Gresik, dan anak itu bernama Muhammad Sholeh. Setelah kembali ke rumah, pada tahun 1933, Muhammad Sholeh merintis kegiatan belajar mengajar membaca Al-Qur’an, tulis menulis, dan dasar-dasar agama.
Baca Juga: Statemennya tentang PDNs Tampak “Ela Elo”, Menkominfo Harus Mundur
Nama Attanwir, maksudnya adalah agar pendidikan ini kelak menjadi pelita di masyarakat. Pada tahun 1952, kegiatan pendidikan ditingkatkan dari Diniyah menjadi Ibtidaiyah (6 tahun). Masjid Pondok kemudian didirikan dengan nama Al-Muttaqin pada tahun 1958.
Pada tahun 1960, mulai dibangun gedung baru, dimana Muallimin al-Islamiyah (4 tahun) diubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (3 tahun) dan Madrasah Aliyah (3 tahun). Pondok ini kemudian berkembang pesat, dengan pengasuhnya: KH. M. Sholeh (w. 1992), KH. Sahal Sholeh (w. 2006), KH.A. Fuad Sahal dan KH. Ali Chumaidi (wafat 2012). Sekarang Pondok Attanwir diasuh oleh KH. A. Fuad Sahal (pengasuh yang sekarang), dengan dilengkapi beberapa pendidikan formal: PAUD, TK, MTs, MA, SMK, dan STIA.
Pada saat sekolah di Attanwir, pondok ini sudah berjalan dengan baik, dan Khotimatul Husna lulus MA al-Islamiyah tahun 1995. Khotimatul Husna ngaji beberapa kitab, di antaranya Nashaihul Ibad, Fathul Qarib, Tafsir Jalalain, dan kitab-kiab dasar lain; dan yang pernah mbalah kitab saat itu, adalah KH. Sahal Fuad, KH. Nafi, KH. Ali Chumaidi, dan KH. Muhammad Sholeh, saat itu masih memberikan wejangan-wejangan kepada santri.
Baca Juga: Maxim Yogyakarta Luncurkan Layanan Delivery Xpress, Solusi Pengantaran Barang Lebih Cepat
Setelah lulus dari pendidikan di Attanwir, Khotimatul Husna terus melanjutkan kuliah ke IIQ, Jakarta, tetapi tidak sempat diteruskan. Setelah itu, Khotimatul Husna mondok sebentar di Pondok Langitan, Widang Tuban, yang saat itu diasuh oleh KH. Abdullah Faqih (1995-1996).
Di Langitan, Khotimatul Husna, sempat menghafal Al-Qur’an 4 juz, dan ngaji kepada Nyai Hj. Abdullah Faqih, dan sering mendengarkan KH. Abdullah Faqih sendiri ngaji. Pada saat yang sama, atas anjuran ibunya, Khotimatul Husna, ngaji pasan di Pondok Al-Hikmah Singgahan Tuban, kepada KH. Husnan Dimyati, dan menjadi santri generasi awal ketika sang kyai pondok ini menyelenggarakan pengajian.
Melanjutkan Pendidikan di Yogyakarta dan Karirnya
Pada tahun 1996, dari mondok di Langitan, Khotimatul Husna, kemudian meneruskan pendidikan ke Yogyakarta, masuk di Fakultas Syariah, jurusan al-Akhwal asy-Syakhsiyah, dan lulus tahun 2000. Ketika masih mahasiwa di Yogyakarta, Khotim Husna masuk PMII dan menjadi Wakil Ketua Rayon PMII Fakultas Syariah (1998-1999); juga bergiat menjadi Wakil Sekretaris IPPNU DIY (1999-2011) sebagai wakil sekretaris; menjadi wakil ketua Kordiska (Korps Dakwah IAIN Sunan kalijaga, 1998-1999); menjadi anggota redaksi Majalah Advokasia (1997-1999).
Baca Juga: Mandiri Jogja Marathon 2024 Usung Semangat Keberlanjutan dan Ekowisata
Ketika di IAIN Yogyakarta ini, Khotim seangkatan dengan KH. Rofiqul Ikhwan (Katib Syuriyah PWNU Kaltim), Husnul Qadim (Ketua LTN NU PWNU Jabar), dan beberapa yang lain; dan bersahabat sekaligus berguru kepada senior-senior, seperti Syafiq Alielha, Kemal Fasya, Zaini Rahman, Ending Syarifudin, Marzuki Wahid, Saiful Huda Shodiq, Eman Hermawan, dan lain-lain. Sedangkan Kyai-Kyai yang membimbing, di antaranya KH. Malik Madani, KH. Thoha Abdurrahman, dan KH. Yudian W Asmin.
Meski berada di Yogyakarta, Khotim juga diminta tetap aktif di Lembaga Pendidikan Sosial dan Pondok Pesantren Ulul Albab, Plesungan (2003-sekarang), yang saat itu diasuh oleh ibundanya, Hj. Siti Maskanah (sekarang dilanjutkan kakaknya Nyai.
Laily Qomariatin dan Kyai Moh Alimi), yang menyelenggarakan pendidikan dari mulai PAUD sampai Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren Ulul Albab. Khotimatul Husna kemudian bekerja di penerbitan Indonesia Tera, Magelang (2001-2004); menjadi editor di penerbit Mahatari (awal 2005); dan Pilar Media (akhir 2005).
Baca Juga: Wisuda 166 Siswa SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, Satu Nama Dapat Empat Juara
Setelah itu, Khotimatul Husna mengikuti suaminya yang sudah terlebih dulu tinggal di Malang, karena suaminya berkerja dan ditugaskan di Malang sejak 2004, untuk membuka cabang perwakilan pemasaran LKiS di Malang dan sekitarnya (wilayah Jawa Jimur, 2006-2008). Ketika di Malang, Khotimatul Husna melakukan kegiatan menulis (kolom, resensi, buku, dll) dan mengedit buku-buku.
Di antara buku karyanya berjudul “Pedoman Membangun Toleransi”, “Sukses Berbisnis ala Nabi”, “Terapi Nabi Mengikis Terorisme”, dan beberapa yang lain. Di Malang, Khotim jg membuka pengajian Ar-Rifahah untuk belajar membaca Al-Qur’an dan ngaji di Perumahan Graha Sejahtera Residence, selain juga aktif di PKK Perumahan. Pengajian ar-Rifahah ini, beberapa kali mendatangkan KH. Marzuki Mustamar, Dr. Faishal Fatawi, dan lain-lain. Sampai saat ini, majelis ta’lim ini msh berjalan.
Setelah itu, Khotimatul Husna dan suaminya, balik ke Yogyakarta, dan mulai aktif di Fatayat Kota Yogyakarta, sejak tahun 2010, sebagai sekretaris (2010-2014). Pada saat yang sama, Khotimatul Husna juga aktif di KNPI Yogyakarta. Setelah itu, aktif di PW Fatayat DIY, setelah periode keaktifannya di Fatayat PC Kota Yogyakarta selesai, meskipun belum ada konferensi PW Fatayat. Di PW Fatayat DIY, awalnya Khotimatul Husna masuk di Bidang Sosial (2015-2017). Setelah ikut pemilihan dalam Konferensi PW Fatayat NU DI Yogyakarta untuk masa khidmat 2017-2022, Khotimatul Husna akhirnya terpilih sebagai ketua PW Fatayat NU DIY.
Di bidang dakwah, Khotimatul Husna, mengorganisir pengajian ibu-ibu, anak-anak dan remaja, bernama Syifaul Qulub, di dusun Kepanjen, Jambidan, Banguntapan, Bantul. Di rumahnya juga dirikan Taman Bacaan Kandank Ilmu (2012), untuk menggugah minat baca dan ngaji anak dan remaja.
Di rumahnya, Khotimatul Husna juga membuat Madrasah Diniyah Hidayatut Thullab (2016) dan PAUD Flamboyan. Di Dusun Kepanjen, Khotimatul Husna juga mengasuh pengajian ibu-ibu Nurul Huda, setiap malam senin (2 minggu sekali), disertai pembacaan Dibaan, Yasin, dan Tahlil; dan mengasuh pengajian ibu-ibu Nurul Ulum (setiap malam jumat, 2 minggu sekali), dengan dimulai Yasin dan tahlil. Ketika mengasuh ngaji di Pengajian Nurul Huda dan Pengajian Nurul Ulum, Khotimatul Husna mengisinya dengan mengambil dari beberapa kitab, misalnya Riyadhush Shalihin, Durratun Nashihin, Bulughul Maram, dan beberapa kitab yang lain.
Selain dalam bidang dakwah, Khotimatul Husna juga pernah aktif di PKK Desa Jambidan dan Kecamatan Banguntapan, sebagai ketua Pokja II Tim Penggerak PKK Desa Jambidan; menjadi anggota Pokja II PKK Kecamatan Banguntapan (2013-2015); dan masuk sebagai pengurus Himpaudi kecamatan Banguntapan (2016-2019). Selain itu, Khotim juga bekerja sebagai Penyuluh Agama Islam Non PNS di KUA Kecamatan Banguntapan. (2016-sekarang).
Baca Juga: Program Pembiayaan Porsi Haji Pegadaian: Gadai Emas 3,5 gram Bisa Langsung Daftar Haji
Khotimatul Husna, yang juga menyukai nyarkub, untuk melestarikan tradisi Aswaja dan keluarganya, paling tidak telah mengunjungi beberapa makam penting, seperti makam Sunan Gunungjati, Sunan Ampel, Sunan Drajat, makam Pangeran Diponegoro di Makasar, makam-makam di Jombang (Gus Dur, Mbah Hasyim, mbah wahab, Mbah Bishri), dan beberapa yang lain.
Khotimatul Husna juga mengorganisir dakwah anggota pengajian dan masyarakat melalui ziarah ke makam para wali, di antaranya ke Makam Mbah Nur Iman (Mlangi), Makam Mbah Dalhar Watucongol (Magelang), Makam Sunan Tembayat, makam Sunan Kudus, makam Raden Fattah, dan makam-makam lain yang sering diziarahi para santri dan masyarakat.
Selain itu, Khotimatul Husna mengorganisir aktivis perempuan Nahdliyin DIY, untuk melakukan kegiatan-kegiatan silaturahmi ke para kyai dan Bu Nyai, seperti kepada Nyai Hj. Barokah (Kotagede), Nyai Hj. Nadhirah Mujab Mahalli (Jejeran), Nyai Hj. Ida Fathimah Zainal Abidin (Krapyak), dan banyak lagi yang lain; dan sering membangun hubungan ke beberapa kyai, seperti KH. Absyari Abta; KH. Najib Salimi (Luqmaniyah), KH. Masud Masduki, KH. Abdul Muhaimin, KH. Abdillah Hasan, KH. Mutashim Billah, Gus Abdul Halim Muslih, Gus Fahmi, dan tokoh-tokoh lain.
Baca Juga: Jadwal dan Tahapan Seleksi Calon Anggota Pantarlih atau PPDP untuk Pilkada Kota Yogyakarta 2024
Pada tahun 2018, Khotimatul Husna terlibat secara intens bersama kaum muda Nahdliyin Yogyakarta dalam membangun SMP dan PP Bumi Cendekia, di daerah Gombang, Tirtoadi, Sleman. Ketika Pondok ini berdiri, Khotimatul Husna diminta menjadi salah satu pengasuhnya, bersama KH. Imam Aziz, Kyai Dr. Rafiq, Kyai Mustafid dan istrinya (Nyai Mustaghfirah Rahayu), dan Hairus Salim.
Pembentukan Garda Fatayat
Eksperimen yang dilakukan ketika menjadi ketua PW Fatayat NU DIY, di antaranya adalah membentuk Garfa (Garda Fatayat). Dalam Buku Saku Garfa (2018) disebutkan, bidang ini dikoordinir oleh Bidang Sosial-Budaya Fatayat DIY, yang diketuai oleh Yus Masfiyah; dan Khotimatul Husna sebagai ketua PW Fatayat NU DIY, menjadi penasehat.
Pembentukan Garfa dilakukan setelah dilakukan berbagai diskusi, menimbang mashlahat dan mudharatnya, dan melalui silaturahmi kepada Ketua PWNU, KH. Fahmi, Kyai Muhtar Salim di Syuriyah, dan ketua GP Ansor DIY, dan akhirnya diputuskan membentuk Garfa. Rekrutmen DTD Garfa, pertama kali di Sompok, Imogiri, Bantul, diikuti oleh ratusan peserta; kemudian di Kulonprogo juga diikuti ratusan peserta; dan kemudian di Gunungkidul. Saat ini, komandan Garfa dipegang oleh Ning Fetra Nur Hikmah.
Baca Juga: UNU Yogyakarta dan RMI DIY Dukung Program Merdeka Sampah di Lingkungan Pesantren
Sebelumnya, Banser Perempuan itu bernama Fatser, Fatsus, Danwatser (di masing-masing tempat), yang ada di bawah Banser dan GP Ansor. Eksperimen Garfa tidak serta merta diterima, karena apa yang sudah ada, misalnya, Fatser, meski ada nama Fatayatnya (Fatser), tetapi koordinasinya tidak dengan Fatayat.Adanya Garfa tentu akan menimbulkan sedikit gejolak di kalangan Fatser, Fatsus dan Danwatser. Akan tetapi, setelah memperoleh restu dari PWNU DIY, Khotimatul Husna, intens berkomunikasi dengan PP Fatayat NU agar Garfa bisa diterima sebagai wadah pengkaderan Fatayat.
Akhirnya, PW Fatayat NU DIY bersama PP Fatayat NU melakukan silaturahmi kepada Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj. Dengan Ketum PBNU, KH. Said Aqil Siradj, perwakilan Fatayat DIY (yang disertai Ketum dan Sekum PP Fatayat dan Sekjen PBNU) bertemu pada tanggal 25 Oktober 2019 di kantor PBNU, dan inisatif dari Fatayat NU DIY, diterima semua, seperti logo, visi misi, dan tiga bidang ketugasannya. Ketum PBNU saat itu menyatakan bahwa “Garfa sebagai wadah resmi Pegkaderan Fatayat NU” (bangkitmedia.com., 27/10/2019).
Hanya saja, tentu saja implementasinya memerlukan waktu yang cukup, dengan melihat fenomena adanya Fatser yang ada di bawah GP Ansor-Banser, dan telah memiliki komandannya sendiri. Baru Fatayat NU DIY di bawah komando Khotimatul Husna yang berani melakukan langkah progresif semacam itu. PP Fatayat NU, yang juga ikut melaunching Garfa, akan membicarakan Garfa lebih detil di Kongres Fatayat, untuk diakomodasi sebagai lembaga.
Dalam berkhidmah di tengah masyarakat itu, Khotimatul Husna didamping sang suami, Irfan Muttaqin, lelaki dari Tasikmalaya (menikah tahun 2002) dan dikaruniai beberapa anak: Ratu Sheba Sofie Ahimsa, Queen Aisha Permata Ahimsa, dan Malika Kimya Mutia Ahimsa. []