BacaJogja – Diskusi terbatas edisi ke-10 bertajuk “Indonesia Kita dan Platform Kebangsaan Cak Nur” yang diadakan oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) bekerja sama dengan Yayasan Persada Hati, kembali menyoroti pemikiran brilian Cak Nur, sebutan akrab untuk Nurcholish Madjid.
Acara yang digelar pada Rabu (17/7/2024) ini dihadiri oleh berbagai akademisi, dengan Putut Widjanarko, Ph.D., Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, sebagai pembicara utama.
Putut mengutip karya Cak Nur tahun 1985, yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia telah tumbuh menjadi sebuah nation. “Modal nasionalitas kita adalah keutuhan wilayah, konstitusi dan falsafah negara, serta pengalaman pembangunan ekonomi yang sistematis,” ujarnya.
Baca Juga: Kurangi Perilaku Sedenter, WHO Terbitkan Panduan Aktivitas Jasmani bagi Anak Usia 5-17 Tahun
Putut menjelaskan bahwa Cak Nur melihat Indonesia sebagai negara yang berhasil menasionalisasi kedaerahan tanpa kehilangan identitas budayanya, meskipun lebih mendekati atau terkait erat dengan budaya Jawa.
Cak Nur juga menempatkan Islam sebagai aset nasional yang berharga. Menurutnya, di Indonesia, Islam berperan signifikan dalam bidang kemasyarakatan, hukum, dan politik, berbeda dengan pengaruh Islam di Barat yang lebih banyak dalam bidang teologi dan sains. Namun, Cak Nur menolak konsep negara Islam, karena baginya, keislaman harus menjadi bagian dari identitas nasional yang inklusif.
Baca Juga: OBE, Solusi Kurikulum Komunikasi Tanggap Kebutuhan Pengguna
Putut juga menyoroti pandangan Cak Nur tentang kolonialisme. Menurutnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak lagi dibentuk oleh Belanda, melainkan hanya wilayahnya saja yang dahulu disebut Hindia Belanda. “Sebelum kedatangan kolonial, Asia Tenggara sudah dikenal sebagai wilayah yang dipengaruhi Islam,” kata Putut.
Dalam diskusi tersebut, Putut menekankan pentingnya semangat kebangsaan yang melambangkan cita-cita tanah air. “Pada tahun 1931, nama Indonesia memberikan semangat baru bagi wilayah nusantara,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana pemuda Indonesia pada tahun 1928 merasa satu bangsa, berbeda dengan orang Melayu Malaysia yang dijajah oleh Inggris dan merasa sebagai bangsa yang berbeda.
Baca Juga: FTA dan Elemen Lain Merajut Kembali Semangat Juang Pasca Pilpres dari Yogyakarta
Perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme pun dinilai unik. “Pertemuan nasional pemuda, Hatta, dan lainnya di Jakarta, ditambah dengan perubahan Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam, menunjukkan pergerakan nasional yang lebih modern,” tutup Putut.
Diskusi ini mempertegas bahwa pemikiran Cak Nur masih relevan untuk menginspirasi nasionalisme dan integrasi sosial di Indonesia masa kini. []