BacaJogja – Regulasi pertembakauan yang semakin ketat menuai kritik tajam dari Pakta Konsumen Nasional (PakNas). Dalam Rembuk Konsumen bertema “Pemerintahan Baru: Melihat Kebijakan pada Ekosistem Pertembakauan dan Dampaknya pada Konsumen” di Sleman, Kamis, 21 November 2024, PakNas menyerukan pelibatan konsumen dalam penyusunan kebijakan.
Mereka menilai aturan-aturan terbaru seperti PP No. 28 Tahun 2024 dan R-Permenkes Tembakau tidak hanya diskriminatif, tetapi juga mengabaikan hak-hak konsumen.
Baca Juga: Milad 4 Tahun Komunitas Pecinta Bantul: Berbagi, Peduli, dan Pesan Kebersamaan
Ketua Umum PakNas, Ary Fatanen, menyampaikan bahwa konsumen produk tembakau, yang taat membayar pajak dan cukai, kerap diperlakukan tidak adil. “Kami hanya diposisikan sebagai subjek hukum. Padahal, konsumen berhak dilibatkan dalam penyusunan regulasi yang menyasar mereka, serta mendapatkan informasi yang transparan,” ujar Ary.
Regulasi seperti PP No. 28 Tahun 2024 dinilai sarat dengan diskriminasi. Beberapa pasal, seperti perubahan batas usia pembelian produk tembakau dari 18+ menjadi 21+, pelarangan penjualan eceran, hingga larangan iklan di media sosial, dianggap merugikan konsumen. “Aturan ini tidak hanya membatasi hak konsumen, tetapi juga berdampak buruk pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat,” tegas Ary.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Tanah Kasultanan dalam Pameran Tales of the Land We Live In di Yogyakarta
Ketidakadilan dalam Penyusunan Kebijakan
PakNas menyoroti proses penyusunan regulasi yang tidak melibatkan konsumen. Hal ini menciptakan stigma dan diskriminasi, sebagaimana terlihat pada Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa daerah di DIY. Regulasi ini, yang dinilai lebih ketat dari aturan pusat, bahkan tidak menyediakan tempat khusus merokok (TKM) yang layak.
Anggota DPRD DIY, Yuni Satya Rahayu, mengingatkan pentingnya keseimbangan antara hak perokok dan non-perokok. “Pemerintah harus memikirkan tempat khusus merokok yang memadai. Rokok adalah produk legal, dan konsumen berhak mendapatkan perlakuan yang adil,” ungkapnya.
Baca Juga: IT Del Gunakan AI untuk Transformasi Pendidikan, Pertanian, dan Pelestarian Budaya Lokal
Paradoks Regulasi dan Dampaknya
GM Totok Hedi Santoso, anggota Komisi VI DPR RI, juga menyoroti aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa logo dalam R-Permenkes. Ia memperingatkan bahwa regulasi semacam ini dapat memicu peningkatan rokok ilegal, yang justru merugikan negara dan konsumen. “Indonesia memiliki tradisi kretek yang berakar kuat. Regulasi harus adil dan sesuai dengan realitas di lapangan,” tambahnya.
Awan Santosa, akademisi dari Universitas Mercu Buana Yogyakarta, menegaskan bahwa kebijakan diskriminatif terhadap ekosistem pertembakauan dapat menghancurkan ekonomi rakyat. “Dari petani hingga konsumen, semuanya terimbas. Jika aturan ini dipaksakan, dampak sosial-ekonominya sangat berat, bahkan memicu kriminalisasi konsumen,” jelasnya.
Baca Juga: Edukasi Berkelanjutan untuk Menjadi Konsumen Cerdas dalam Memilih Produk Halal
PakNas menekankan pentingnya evaluasi mendalam terhadap regulasi pertembakauan. Mereka meminta pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berpihak pada kesehatan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan hak konsumen.
“Peraturan yang baik harus memberikan kepastian hukum, keadilan, dan transparansi informasi bagi semua pihak. Regulasi yang diskriminatif hanya akan memperburuk kondisi masyarakat,” tutup Ary. []