Oleh: Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Kebijakan baru pemerintah mengenai pembelian LPG 3kg telah menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka yang berasal dari kelas bawah.
Pemerintah beralasan bahwa aturan baru ini dibuat untuk memastikan subsidi LPG 3kg tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh mereka yang mampu.
Namun, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru menyulitkan banyak orang dan menimbulkan polemik yang luas. Kondisi pada Senin, 3 Februari 2025, menunjukkan antrean panjang LPG 3kg di Jakarta dan sekitarnya yang mengingatkan kondisi Indonesia di tahun 1960-an.
Beberapa warga di daerah Bogor dan Bekasi bahkan mulai beralih menggunakan kayu bakar akibat sulitnya mendapatkan LPG.
Bagi rakyat kecil, aturan ini semakin menambah beban hidup yang sudah berat, sementara bagi kelas menengah, efek domino dari kebijakan ini juga mulai terasa.
LPG 3kg sebenarnya merupakan bagian dari sejarah konversi energi yang dilakukan pemerintah sejak awal 2000-an.
Baca Juga: Belajar AI hingga Content Creation? DTS Sediakan Pelatihan Gratis untuk Kamu!
Dahulu, masyarakat banyak menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama. Namun, karena harga minyak tanah memiliki keekonomian tinggi seperti avtur, sementara gas pada saat itu murah dan berlimpah, pemerintah memutuskan untuk melakukan konversi ke LPG.
LPG melon 3kg kemudian diberikan sebagai kompensasi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar mereka tetap mendapatkan energi dengan harga terjangkau.
Dampak Terhadap Kelas Bawah: Hidup Semakin Sulit
Bagi masyarakat kelas bawah, LPG 3kg adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar.
Banyak dari mereka yang menggantungkan hidupnya pada gas bersubsidi ini untuk memasak di rumah maupun menjalankan usaha kecil-kecilan.
Dengan adanya kebijakan baru yang mewajibkan pendaftaran atau persyaratan tertentu untuk membeli LPG 3kg, masyarakat miskin semakin dipersulit untuk mendapatkan apa yang selama ini sudah menjadi hak mereka.
Seorang pedagang gorengan, misalnya, yang sebelumnya bisa dengan mudah membeli LPG 3kg di warung sekitar rumahnya, kini harus memenuhi syarat administrasi tertentu atau terdaftar dalam sistem tertentu untuk mendapatkannya.
Tidak semua warga memiliki akses atau pemahaman yang cukup terkait proses ini, apalagi jika harus mengurus berbagai dokumen tambahan.
Baca Juga: Gempa M6,2 Guncang Aceh, Warga Panik tapi Tidak Ada Korban Jiwa
Ini tentu menambah beban bagi mereka yang sehari-hari sudah disibukkan dengan mencari nafkah.
Tak hanya itu, distribusi LPG 3kg yang semakin ketat menyebabkan banyak pengecer tidak bisa menjualnya secara bebas, membuat masyarakat kesulitan mendapatkannya di saat mendesak.
Banyak warga yang harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendapatkan satu tabung gas. Bayangkan jika mereka harus berhadapan dengan antrian panjang atau kuota yang sudah habis lebih dulu?
Ini jelas bukan kebijakan yang membantu, tetapi justru memperumit kehidupan rakyat kecil.
Dampak Terhadap Kelas Menengah: Efek Domino yang Tak Terhindarkan
Tak hanya kelas bawah yang merasakan dampaknya, kebijakan ini juga menimbulkan efek domino terhadap kelas menengah.
Banyak rumah tangga kelas menengah yang menggunakan LPG 3kg karena lebih ekonomis dibandingkan gas non-subsidi.
Dengan adanya pembatasan, mereka dipaksa untuk beralih ke LPG ukuran lebih besar yang harganya jauh lebih mahal.
Baca Juga: Puncak Musim Hujan Ancam Jawa Tengah: Pekalongan, Batang, dan Boyolali Rawan Bencana
Kenaikan biaya rumah tangga ini akhirnya berdampak pada pengurangan pengeluaran di sektor lain. Kelas menengah yang biasanya memiliki daya beli lebih baik bisa mulai mengurangi konsumsi di sektor lain seperti hiburan, makanan, hingga pendidikan.
Ini bisa berdampak lebih jauh pada ekonomi nasional, karena daya beli masyarakat menurun akibat kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.
Di sisi lain, banyak usaha kecil yang juga mengalami kesulitan akibat kebijakan ini. Warung makan, penjual gorengan, dan berbagai bisnis berbasis makanan yang selama ini bergantung pada LPG 3kg kini harus menghadapi kemungkinan kenaikan biaya operasional yang signifikan.
Jika harga jual dinaikkan, daya beli konsumen menurun. Jika harga tetap, keuntungan menipis. Ini adalah dilema besar bagi mereka yang menggantungkan hidup pada usaha kecil.
Lebih jauh lagi, jika para pedagang kecil gulung tikar karena kebijakan ini, akan terjadi peningkatan angka pengangguran yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi nasional.
Pemerintah seharusnya memahami bahwa setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dipertimbangkan secara matang, bukan sekadar demi pencitraan atau kepentingan politik tertentu.
Pemerintah Seharusnya Memudahkan, Bukan Menyulitkan
Subsidi LPG 3kg memang ditujukan untuk masyarakat miskin, tetapi implementasinya haruslah mempermudah, bukan justru mempersempit akses.
Pemerintah sebaiknya fokus pada pengawasan distribusi agar subsidi benar-benar tepat sasaran, bukan dengan membatasi atau menyulitkan akses masyarakat terhadapnya.
Baca Juga: Kelalaian Sopir Fortuner Diduga Penyebab Kecelakaan Beruntun di Bantul, Satu Pemotor Meninggal
Jika pemerintah khawatir gas bersubsidi ini dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, maka solusi terbaik bukanlah membuat kebijakan yang mempersulit rakyat kecil, melainkan memperbaiki sistem pengawasan dan distribusi.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memastikan bahwa data penerima subsidi benar-benar valid dan diperbarui secara berkala. Pemerintah bisa memanfaatkan teknologi digital yang lebih efisien untuk memastikan bahwa subsidi diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak.
Bukannya menerapkan kebijakan yang kaku dan menyulitkan, lebih baik pemerintah memperluas cakupan subsidi agar masyarakat yang benar-benar membutuhkan bisa dengan mudah mendapatkannya.
Selain itu, solusi lain yang bisa diterapkan adalah menerapkan sistem subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak.
Daripada membatasi jumlah tabung yang bisa dibeli atau menerapkan syarat administrasi yang membingungkan, lebih baik jika subsidi diberikan dalam bentuk bantuan tunai atau voucher gas.
Dengan begitu, masyarakat miskin tetap bisa membeli LPG 3kg tanpa harus dipersulit oleh aturan yang berbelit-belit.
Pemerintah juga harus lebih transparan mengenai alasan di balik kebijakan ini.
Apakah benar langkah ini dilakukan untuk memastikan subsidi tepat sasaran, ataukah ada kepentingan lain yang tersembunyi?
Jangan sampai kebijakan ini justru memberikan keuntungan bagi segelintir pihak yang memiliki kepentingan bisnis dalam industri gas.
Baca Juga: Tragedi Pantai Drini: Korban Hilang Ditemukan, Operasi SAR Resmi Ditutup
Kesimpulan: Kebijakan yang Harus Dibatalkan!
Kebijakan baru pembelian LPG 3kg ini jelas telah menimbulkan banyak permasalahan bagi masyarakat, terutama kelas bawah dan kelas menengah.
Bukannya memberikan solusi, kebijakan ini justru menambah kesulitan bagi mereka yang sudah berjuang keras untuk bertahan hidup.
Dengan sistem pembatasan yang berbelit dan distribusi yang semakin sulit, masyarakat semakin terbebani, sementara ekonomi kecil juga mulai terancam.
Rekomendasi terbaik bagi pemerintah adalah memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan subsidi LPG 3kg, bukan dengan cara membatasi akses atau mempersulit rakyat kecil.
Subsidi seharusnya diperluas untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang benar-benar membutuhkan, bukan malah semakin dipersempit dengan aturan yang membingungkan.
Pemerintah harus memahami bahwa kebijakan yang baik adalah yang memudahkan, bukan yang menyulitkan.
Jika kebijakan ini terus dipaksakan tanpa evaluasi yang matang, maka bukan tidak mungkin akan muncul gejolak sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, sementara sektor ekonomi kecil yang seharusnya menjadi tulang punggung justru semakin melemah.
Oleh karena itu, sebelum terlambat, pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ini dan mencari solusi yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar solusi yang tampak baik di atas kertas tetapi menyengsarakan dalam pelaksanaannya. []