Pengelola Rumah Sakit di Yogyakarta Keluhkan Implementasi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

  • Whatsapp
Cholid Mahmud
Anggota Komite III DPD RI Cholid Mahmud saat memaparkan hasil reses kepada awak media di Yogyakarta, Seni, 1 November 2021. (Foto: BacaJogja)

Yogyakarta – Banyak pengelola rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluhkan implementasi Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit maupun PP No 47 Tahun 2021 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Keluhan mengemuka saat Anggota Komite III DPD RI Cholid Mahmud mengundang pemangku kepentingan kesehatan RSUD se-DIY, Dinas Kesehatan se-DIY, BPJS Kesehatan maupun Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI).

Cholid Mahmud berpendapat munculnya regulasi baru justru menjadi masalah bagi rumah sakit. “Dari diskusi itu dihasilkan beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti untuk perbaikan UU Kesehatan karena faktanya isi di dalam PP tersebut berbeda dengan undang-undang,” katanya saat memaparkan hasil reses selama 20 hari pada 9-28 Oktober 2021 di lima kabupaten/kota se-DIY di RM Suharti Yogyakarta, Senin, 1 November 2021.

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: Tantangan Indonesia Mempertahankan Politik Luar Negeri dalam Kosmopolitanisme

Dia mengungkapkan, perbedaan menonjol dari dua aturan tersebut adalah tentang pengklasifikasian rumah sakit. Di dalam UU No 4 Tahun 2009 diatur rumah sakit tipe A, B, C dan D berdasarkan kewenangan memberikan pelayanan kesehatan spesialistik dan subspesialistik.

Tipe A yang paling tingi punya kewenangan menyelenggarakan pelayanan empat spesialis dasar, lima penunjang medik spesialis, 12 spesialis lain selain dasar dan 13 subspesialis. Sedangkan rumah sakit tipe D atau yang paling rendah, hanya berkewenangan menyelenggarakan layanan dua spesialis dasar.

“Adapun di dalam aturan baru PP No 47 Tahun 2021 klasifikasi tipe A, B, C dan D tidak lagi digradasi berdasarkan kewenangan memberikan pelayanan spesialistik dan subspesialistik tetapi digradasi hanya dengan penyediaan jumlah tempat tidur,” kata Cholid.

Baca Juga: Mengenang M. Natsir, Sosok yang Menjadikan Indonesia Tetap NKRI

Cholid menyatakan rumah sakit tipe A jumlah tempat tidurnya minimal 250. Sedangkan tipe D adalah rumah sakit yang jumlah tempat tidurnya minimal 50. Sementara penyediaan layanan spesialistik dan subspesialistik boleh diselenggarakan oleh semua rumah sakit dari semua tipe.

Menurut dia, bagi penyelenggara rumah sakit khususnya tipe A dan B aturan baru ini dirasakan bermasalah. Kunjungan ke rumah sakit tipe B sangat turun. Rawat jalan juga turun karena dikaitkan dengan aturan JKN yang menerapkan sistem rujukan berjenjang biasanya harus dari kelas C dan D dulu dan tidak bisa langsung ke kelas B.

Sementara itu, dari 18 kali kegiatan jaring aspirasi, Cholid Mahmud selain menerima masukan mengenai rumah sakit, juga mengenai pembelajaran tatap muka, nasib kesejahteraan pendidik PAUD, ketenagakerjaan terutama nasib pekerja outsourcing. []

Related posts