Bantul – Kabupaten Bantul memperoleh Penghargaan Penetapan Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Penghargaan diberikan secara langsung oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Kepatihan, Yogyakarta, Jumat, 26 November 2021.
Bupati Bantul Abdul Halim Muslih mengungkapkan, adanya penetapan penghargaan harapannya generasi muda dapat memperoleh informasi yang tepat dan valid seputar budaya di Kabupaten Bantul. “Adanya penetapan ini maka informasi berbentuk narasi tentang asal muasal warisan tersebut akan dapat diakses dengan mudah,” ungkapnya.
Adapun tujuh warisan budaya tak benda tersebut, yakni:
1. Salawat Maulud Jawi (Kategori Tradisi dan Ekspresi Lisan)
Shalawat Jawi ditemukan di Kapanewon Pleret dan tersebar di Bantul. Kesenian ini merupakan bentuk penegasan jawanisasi kesenian Islam. Kesenian yang berkembang seiring dengan tradisi peringtaan Maulid Nabi ini mengartikulasikan syair atau syiiran shalawat kepada Nabi Muhammad dengan medium bahasa Jawa, bahkan juga dengan melodi-melodi Jawa seperti langgam sinom, dandang-gula, pangkur dan lain-lain.
2. Nguras Enceh (Ketagori Adat istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaaan)
Nguras Enceh berawal dari kemenangan Kesultanan Mataram yang berperang dengan aliansi Kesultanan Aceh, Kesultanan Palembang, Kesultanan Ustmaniyah (Turki Utsmani), dan Kerajaan Siam (Thailand-Myanmar). Keempat kerajaan ini kemudian menjadi kerajaan sahabat dari Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Sebagai tanda perdamaian dan tanda persahabatan, Sultan Agung meminta masing-masing kerajaan untuk memberikan pusaka yaitu gentong enceh. Nguras Enceh atau nguras gentong ini kemudian menjadi tradisi bagi masyarakat di Kecamatan Imogiri. Pada masa selanjutnya Gentong tersebut kemudian diletakkan di hadapan makam Sultan Agung.
Sehari sebelum Nguras enceh dilakukan kirab dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa. Kirab dimulai dari Kecamatan Imogiri hingga ke Kompleks Makam Raja-raja Imogiri di Pajimatan, Girirejo. Kirab ini diiringi dengan kesenian gunungan, Prajurit Lombok Abang, Jatilan, Gejog Lesung dan Selawatan.
3. Cembengan Yogyakarta (Kategori Adat istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan)
Tradisi Cembengan terbentuk dari tradisi masyarakat Tionghoa yang bekerja di pabrik gula Maduksimo Bantul Yogyakarta. Sebelum melakukan giling tebu, berziarah ke makam para leluhur. Tradisi masyarakat Tionghoa ini bernama Cing Bing, lalu berubah pengucapan menjadi Cembengan.
Tradisi ini akhirnya dilakukan warga di sekitar pabrik gula. Mereka akhirnya bahu membahu mengadakan upacara besar dengan tujuan meminta berkah dari leluhur untuk kelancaran giling tebu yang ada di pabrik Madukismo.
4. Pewarna Alami Yogyakarta (Kategori Pengetahuan dan Kebiasaan Prilaku Mengenai Alam Semesta)
Zat warna alam batik memiliki makna bahwa Indonesia memiliki banyak varietas tanaman flora fauna yang beragam termasuk Yogyakarta sebagai penghasil produk batik. Pewarna alam untuk batik berasal dari bahan tumbuhan, akar, kulit dan batang kayu. Berbagai jenis tanaman yang biasa dipakai antara lain daun avokad, daun mangga, kulit mahoni dan akar pohon mengkudu. Pewarna alami ini banyak ditemukan di Bantul terutama di Imogiri dan Kasihan.
5. Sate Klatak (Kategori Kemahiran dan Kerajinan Tradisional)
Sate klatak merupakan hidangan daging kambing yang banyak ditemukan di Kapanewon Pleret, Bantul, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, kegiatan membakar sate di pembakaran terbuka disebut “klathak”.
Sate ini sangat berbeda dari ragam sate lainnya, yang biasanya yang memakai tusukan bambu. Sedangkan tusukan sate klatak yang dipakai untuk memanggang dan membakar terbuat dari besi, biasanya pakai ruji pada roda sepeda. Tusukan besi sebagai konduktor penghangat akan membuat daging lebih masak dari bagian dalam.
6. Mie Lethek (Kategori Kemahiran dan Kerajinan Tradisional)
Mie Lethek berasal dari Kapanewon Srandakan yang kini menjadi kuliner khas Kabupaten Bantul. Mie Lethe ini berbahan dasar tepung tapioka dan singkong. Proses pembuatan mie ini cukup unik dan menggunakan alat tradisional. Salah satunya menggunakan sapi jantan yang berputar mengelilingi alat mesin tradisional.
Tempat pembuatan mi itu berada di Dusun Bendo, Kalurahan Trimurti, Srandakan, Bantul. Rasa Mie ini sendiri memiliki rasa yang unik dan tekstur yang menarik dibandingkan dengan mie yang lainnya.
7. Kupatan Jolosutro (Kategori Adat istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan)
Upacara adat ini terletak di desa Srimulyo, Piyungan Bantul, bertempat di makam Sunan Geseng yang terletak di Dusun Jolosutro. Upacara ini dilaksanakan sesudah masa panen padi pada hari Senin Legi bulan Sapar. Namun karena waktu panen mengalami perubahan, maka tidak harus Sapar dan nama pasaran juga tidak harus Legi asal bukan Pon. Untuk tanggalnya berdasarkan pedoman penanggalan Jawa yaitu tanggal 10 sampai 15 saat menjelang bulan purnama.
Upacara Kupatan Jolosutra ini sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah melimpahkan berkah sehingga hasil pertaniannya yang baik. Selain itu juga memohon berkah agar hasil pertanian yang akan datang bisa lebih baik serta mendoakan Nabi Muhammad SAW dan para leluhur. []