BacaJogja – Data menunjukkan sebesar 81% remaja (usia 11-17 tahun) dan 27,5% orang dewasa belum melakukan aktivitas jasmani dalam jumlah yang cukup di tahun 2016. Untuk itu, organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menerbitkan panduan aktivitas jasmani tahun 2020 untuk mengurangi perilaku sedenter di seluruh dunia.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Fitria Dwi Andriyani, M.Or., Ph.D., dosen Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan UNY dalam Workshop Peningkatan Aktivitas Jasmani dan Mengurangi Perilaku Sedenter pada Siswa Sekolah Dasar Muhammadiyah di Amphitheater A Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Rabu (10/7/2024).
Dalam panduannya WHO menganjurkan kepada anak usia 5-17 tahun untuk melakukan aktivitas jasmani setidaknya rata-rata 60 menit per hari. Aktivitas fisik tersebut meliputi aerobik dengan intensitas sedang-tinggi atau aktivitas singkat lainnya, latihan kekuatan otot dan tulang selama tiga kali seminggu, dan aktivitas ringan selama beberapa jam per hari.
WHO memberikan rekomendasi agar anak dan remaja selalu melakukan aktivitas jasmani karena memiliki manfaat bagi kesehatan. Dengan memulai aktivitas jasmani dalam jumlah kecil dan bertahap, serta memberikan kesempatan yang aman dan adil bagi mereka untuk ikut serta dalam aktivitas jasmani yang menyenangkan.
Baca Juga: Panca Dharma Istimewa, Obat Pelanggeng Dunia Pariwisata Jogja
Tak hanya itu, WHO juga memberikan panduan perilaku sedenter pada anak usia 5-17 tahun. WHO menyarankan agar anak dan remaja membatasi perilaku sedenter dengan membatasi jumlah waktu yang dihabiskan untuk duduk di depan layar televisi, gawai, ataupun laptop, untuk keperluan rekreasi.
“Duduk dalam waktu yang lama di depan alat berbasis layar dapat menghilangkan manfaat yang diperoleh dari aktivitas jasmani, sehingga harus diberi jeda sesering mungkin. Oleh karena itu, batasilah waktu duduk yang lama dan gantilah dengan setidaknya aktivitas jasmani yang ringan,” ungkap Fitria.
Interaksi sosial yang positif pada anak dan remaja perlu didukung oleh sekitar, utamanya orang tua. Terlebih dalam penggunaan alat berbasis layar perlu diatur dengan mendiskusikan batas waktu dan konten yang sesuai dengan usia anak dan remaja. Pasalnya WHO telah menetapkan gaming disorder atau ketergantungan pada game sebagai suatu penyakit mental. (IAF)