Oleh: Surya Guntur Alam
Ketua Yayasan Petranas Daerah Istimewa Yogyakarta
Pada tanggal 1 Agustus, kita menyaksikan apa yang dapat disebut sebagai sebuah sandiwara politik yang memprihatinkan. “Raja Palsu,” sebutan yang tampaknya tepat untuk sosok pemimpin yang kerap memanipulasi emosi rakyat, menangis tersedu-sedu di hadapan para ulama. Tindakan ini bukanlah refleksi dari penyesalan yang tulus, melainkan sekadar upaya untuk meraih simpati. Air mata buaya yang ia tumpahkan hanyalah kedok untuk menutupi niat busuknya di balik layar.
Hanya berselang sepuluh hari, tepatnya pada 10 Agustus, “Raja Palsu” kembali menunjukkan wajah aslinya. Ia membegal simbol partai BERINGIN dan menendang abdi dalemnya sendiri tanpa ragu. Ini bukanlah pertama kalinya kita melihat betapa liciknya permainan politik yang dilakukan. Sungguh ironis, seorang pemimpin yang baru saja meminta maaf di hadapan ulama, kini tanpa malu menunjukkan tindakan yang berlawanan dengan norma-norma kepemimpinan yang seharusnya ia junjung tinggi.
Baca Juga: Butet dan Personel FSTVLST Ikut Aksi Kawal Konstitusi di Malioboro Yogyakarta
Lalu, pada 16 Agustus, kita disuguhkan adegan serupa. “Raja Palsu” sekali lagi tampil di hadapan Dewan Perwakilan Partai, memohon maaf dengan suara bergetar, seolah-olah ia benar-benar menyesali apa yang telah ia lakukan. Namun, hanya dalam waktu tiga hari setelahnya, ia dengan tanpa segan-segan menyegel seorang calon boneka di bekas ibu kota. Ini adalah bukti nyata bahwa setiap tindakan yang diambil hanyalah untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya.
Puncak dari manipulasi ini terjadi pada 22 Agustus, ketika “Raja Palsu” membegal konstitusi demi memastikan anaknya bisa menjadi calon gubernur. Ini adalah puncak dari permainan politik yang menjijikkan, di mana hukum dan aturan negara dijadikan alat untuk mewujudkan ambisi pribadi. Dalam situasi ini, kita menyaksikan bagaimana institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru dijadikan alat oleh penguasa untuk memperpanjang dinasti politiknya.
Baca Juga: 17 Tahun Eksis, Lotek Bu Tari di Jogja Ini Konsisten Ciptakan Cita Rasa Khas
Kita harus menyadari bahwa permintaan maaf yang berkali-kali dilakukan oleh “Raja Palsu” ini bukanlah tanda dari kesadaran diri yang mendalam. Sebaliknya, itu adalah strategi licik untuk menenangkan gelombang kritik yang datang bertubi-tubi. “Raja Palsu” tahu betul bahwa dengan meneteskan air mata di depan publik, ia dapat meredam amarah sementara, sambil mempersiapkan langkah-langkah keji berikutnya.
Jika kita terus terbuai oleh air mata buaya ini, maka kita sama saja dengan memberikan izin kepada “Raja Palsu” untuk terus bermain di atas penderitaan rakyat. Kita harus memahami bahwa setiap permintaan maaf yang disampaikan bukanlah akhir dari masalah, melainkan awal dari masalah yang lebih besar. Hari ini ia menangis, tapi esok ia akan kembali dengan tindakan yang lebih gila dan lebih merusak.
Baca Juga: Kirab Bendera Merah Putih 540 Meter, Semarak Kemerdekaan di Grudo Panjangrejo Bantul
Kegilaan ini harus dihentikan. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam permainan emosi yang dimainkan oleh “Raja Palsu.” Ini bukan lagi soal individu atau kelompok tertentu, tetapi tentang masa depan negara ini. Jika kita membiarkan hal ini terus berlanjut, maka kita sedang menggali kubur bagi masa depan generasi mendatang.
Kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pandai bermain peran di atas panggung politik, tetapi juga memiliki integritas dan komitmen terhadap kepentingan rakyat. Kita harus bergerak bersama untuk menolak segala bentuk manipulasi dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memiliki legitimasi moral.
Baca Juga: Jogja Mini Soccer Community, Solusi Tepat Melepas Penat
Ingatlah selalu bahwa permintaan maaf hari ini bukanlah tanda perubahan, melainkan isyarat bahwa kejahatan yang lebih besar sedang disiapkan. Jangan sampai kita tertipu lagi oleh air mata buaya yang terus diteteskan oleh “Raja Palsu.” Saatnya kita bangkit dan melawan segala bentuk ketidakadilan dan penipuan yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung, bukan perusak, negeri ini. []