BacaJogja – Kajian dan Apresiasi Seni Budaya Samawa Ke-16 yang digelar oleh Yayasan Pusat Seni Budaya Profetik (Yayasan Pusbatik) berlangsung meriah di Pendopo Wonolelan, Dusun Bojong, Wonolelo, Plered, Bantul. Acara ini menjadi tonggak penting dengan peluncuran antologi pantun bertajuk Pantun Cinta: Dari Umat untuk Bangsa.
Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan peserta dan dimeriahkan oleh peluncuran antologi pantun, pembacaan pantun, serta diskusi seputar pentingnya pelestarian budaya. Tiga penulis utama dalam antologi tersebut, Daim Rahardjo (80 tahun), Mustofa W Hasyim (70 tahun), dan Haryanto (60 tahun), turut hadir sebagai penerima penghargaan dalam peluncuran buku tersebut. Pantun-pantun karya mereka sarat dengan pesan moral dan kearifan lokal.
Baca Juga: Basement Lawang Sewu yang Sarat Mitos Kembali Dibuka: Gratis untuk Tiga Hari Pertama
“Kami Menulis Maka Kami Ada”
Dalam sambutannya, Mustofa W Hasyim, mewakili ketiga penulis, menyampaikan, “Kami menulis maka kami ada.” Buku antologi tersebut juga diberikan kepada sejumlah penulis lainnya, termasuk mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Drs. Edy Heri Suasana. Dalam sambutannya, Edy mengungkapkan, “Pantun adalah kekayaan budaya bangsa yang harus kita jaga dan terus perkenalkan kepada generasi muda. Buku ini adalah wujud nyata komitmen kami untuk menjaga tradisi dan kearifan lokal di tengah derasnya arus modernisasi.”
Drs. Heryanto, M.Si., pengelola Pendopo Wonolelan, menyatakan kebanggaannya bahwa Pendopo Wonolelan menjadi tuan rumah kegiatan budaya yang penuh makna seperti Samawa Ke-16. “Pendopo ini dirancang sebagai pusat pelestarian seni dan budaya. Kami bangga dapat mendukung acara yang memperkuat cinta terhadap budaya bangsa,” katanya.
Baca Juga: Takopokki: Rekomendasi Kuliner Jepang dan Korea di Dekat Kampus UAD Yogyakarta
Relevansi Pantun di Era Digital
Editor antologi, Jabrohim, menekankan pentingnya menjaga relevansi pantun di era digital. “Kami berharap pantun tidak hanya bertahan dalam acara budaya, tetapi juga berkembang di platform modern seperti media sosial. Generasi muda perlu memandang pantun sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan bangsa,” ujar Jabrohim.
Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M., M.A., salah satu tokoh penting Yayasan Pusbatik, menambahkan, “Kegiatan ini bukan sekadar memperkenalkan pantun kepada generasi muda, tetapi juga menghidupkan kembali rasa cinta terhadap budaya bangsa.”
Baca Juga: Kedai Mbah Warto: Tempat Nongkrong Hits di Piyungan dengan View Kota Jogja yang Memukau
Wujud Pelestarian Budaya
Antologi Pantun Cinta: Dari Umat untuk Bangsa adalah bukti nyata komitmen pelestarian budaya Indonesia. Buku ini memuat pesan-pesan luhur tentang cinta, moral, dan kebijaksanaan yang tetap relevan untuk kehidupan modern. Agus Amarullah, M.A., salah satu jajaran pimpinan Yayasan Pusbatik, menyampaikan harapannya, “Melalui kegiatan ini, kami ingin masyarakat semakin mencintai budaya lokal dan aktif melestarikannya. Dengan semangat ini, pantun diharapkan tetap menjadi warisan budaya bangsa yang abadi.”
Peluncuran ini menjadi pengingat bahwa tradisi seperti pantun memiliki nilai yang tidak lekang oleh waktu, meskipun zaman terus berubah. []