BacaJogja – Dalam rangka memperingati Hari Filsafat Sedunia, Paramadina Graduate School of Islamic Studies menggelar diskusi bertajuk “Filsafat Telah Mati? Membincang Ulang Peran Filsafat dalam Kanvas Peradaban Kontemporer.”
Acara ini menjadi ruang refleksi mendalam tentang relevansi filsafat di tengah krisis multidimensional era modern, seperti ancaman teknologi kecerdasan buatan (AI) dan degradasi nilai kemanusiaan. Hari Filsafat Sedunia diperingati setiap Kamis ketiga bulan November, sehingga tahun ini diperingati pada 21 November 2024.
Diskusi yang berlangsung di Gedung Sevilla, Universitas Paramadina, Jakarta, menghadirkan tiga pembicara terkemuka: Dr. M. Subhi-Ibrahim (Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies), Dr. Budhi Munawar-Rachman (Dosen STF Driyarkara), dan Dr. Luh Gede Saraswati Putri (Dosen Filsafat Universitas Indonesia).
Acara ini dibuka dengan pembacaan puisi “Halaqoh Pulosirih” oleh Sofyan RH Zaid, diiringi alunan gitar dari Ivan, mahasiswa Paramadina Graduate School of Islamic Studies, yang memberikan sentuhan puitis dan mendalam.
Filsafat dan Krisis Kemanusiaan
Dr. Luh Gede Saraswati Putri membuka diskusi dengan membahas isu saintisme—keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara memahami dunia—yang mengabaikan dimensi nilai dan makna hidup manusia. Ia menyoroti pentingnya kembali pada konsep Lebenswelt (pengalaman hidup sehari-hari) untuk mendamaikan ilmu pengetahuan dengan nilai kemanusiaan.
“Kita menghadapi krisis multidimensional yang berakar pada objektivisme berlebihan. Ilmu pengetahuan harus melibatkan pengalaman manusia sehari-hari agar tidak kehilangan maknanya,” ujarnya.
Baca Juga: Basement Lawang Sewu yang Sarat Mitos Kembali Dibuka: Gratis untuk Tiga Hari Pertama
Saraswati juga memperingatkan ancaman homogenisasi pikiran yang ditimbulkan oleh AI, yang ia sebut sebagai alat kapitalisme global. “Teknologi AI dapat menyeragamkan cara berpikir, mengancam kreativitas, dan mempersempit ruang kebebasan manusia. Di sinilah filsafat berperan untuk mengevaluasi dampak teknologi ini dan mengadvokasi regulasi yang lebih manusiawi,” tambahnya.
Filsafat sebagai Penjaga Kritisisme Zaman
Sementara itu, Dr. Budhi Munawar-Rachman menyoroti peran filsafat dalam menghadapi transformasi digital. Menurutnya, filsafat tetap relevan sebagai kerangka kritis untuk menganalisis dampak teknologi, khususnya terkait isu etis seperti privasi dan kecerdasan buatan.
“Filsafat harus mempertahankan wataknya sebagai ilmu kritis yang ‘menggonggong’ terhadap perubahan zaman. Kita perlu filsafat untuk memahami kembali metode memperoleh pengetahuan dan mengarahkan inovasi teknologi agar lebih humanistik,” ujarnya.
Dr. M. Subhi-Ibrahim, dalam penutupan diskusi, menekankan pentingnya mengembalikan filsafat pada esensinya sebagai philosophia, yaitu cinta kebijaksanaan. Ia menyoroti hubungan erat antara pengetahuan dan kehidupan sehari-hari yang menjadi fondasi filsafat klasik.
Baca Juga: Nikmati Liburan Natal dan Tahun Baru dengan Kereta Java Priority dari KAI Wisata
“Filsafat harus menjadi titik awal untuk memahami kehidupan dan titik akhir untuk menemukan kebijaksanaan dalam menghadapi realitas,” katanya.
Diskusi ini menegaskan bahwa filsafat tidak mati, melainkan terus bertransformasi untuk menjawab tantangan zaman. Dengan daya kritisnya, filsafat tetap relevan dalam mencari solusi atas berbagai krisis, mulai dari konflik global, disrupsi teknologi, hingga ancaman ekologis.
Acara ini menjadi momen refleksi penting, tidak hanya bagi akademisi dan praktisi, tetapi juga masyarakat umum, untuk memahami peran filsafat dalam menjawab tantangan era kontemporer. []