BacaJogja – Ibnu Sina, atau dikenal sebagai Avicenna di Barat, adalah seorang ilmuwan Muslim yang diakui sebagai Bapak Kedokteran Modern Dunia. Biografi Ibnu Sina kerap menjadi rujukan karena warisan keilmuannya yang luar biasa. Ilmuwan besar ini lahir di Uzbekistan pada bulan Safar 370 H (Agustus 980 M).
Ayahnya, Abdullah, seorang gubernur distrik Bukhara pada masa pemerintahan Nuh II bin Mansyur dari Dinasti Samaniyah, dan ibunya, Sitarah, berasal dari Persia. Lingkungan keluarga yang mapan dan intelektual menjadi pondasi penting bagi Ibnu Sina. Rumah mereka menjadi tempat berkumpulnya para ulama dan sarjana, yang memperkaya wawasan Ibnu Sina sejak kecil.
Baca Juga: BMKG Imbau Warga Waspada: Akhir Tahun Cuaca Ekstrem Mengintai Yogyakarta
Sejak usia muda, Ibnu Sina menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pada usia lima tahun, ia telah belajar agama dan logika dasar, lalu menghafal Al-Qur’an di usia sepuluh tahun. Ia juga mendalami fikih dan ilmu syariat. Memasuki usia 16 tahun, Ibnu Sina mulai belajar filsafat setelah menguasai teologi, serta berguru pada para cendekiawan besar seperti Abu Abdullah An-Naqili dan Abu Manshur al-Qamari.
Dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan melampaui batas. Ia mempelajari matematika dari buku karya Euklides, menguasai astronomi melalui Almagest karya Ptolemaeus, dan memperdalam kedokteran dalam waktu singkat. Pada usia 16 tahun, Ibnu Sina mampu menyembuhkan penyakit Sultan Nuh bin Mansyur, yang memberinya akses ke perpustakaan istana Samaniyah.
Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas Malam Tahun Baru di Kulon Progo: Ini Lokasi dan Pengalihan Arusnya
Karya Besar dan Penemuan Kedokteran
Ibnu Sina mulai menulis karya besar di usia 21 tahun, salah satunya Al-Majmu’ yang mencakup berbagai cabang ilmu. Ia juga menulis Kitab al-Qanun fi at-Tibb (Canon of Medicine), sebuah ensiklopedia medis yang menjadi rujukan utama kedokteran hingga abad ke-17.
Dalam dunia kedokteran, Ibnu Sina menemukan metode pengobatan revolusioner, seperti penggunaan pipa udara untuk membantu pernapasan dan teknik psikoterapi untuk mengatasi gangguan kejiwaan. Ia juga mengungkapkan fakta ilmiah tentang tulang tempurung kepala yang pecah dan perbedaan antara kelumpuhan saraf wajah akibat otak dan anggota tubuh.
Baca Juga: Kecelakaan Tunggal Minibus Terjun ke Jurang di Sempor Kebumen
Warisan yang Tak Terlupakan
Pada usia 58 tahun, Ibnu Sina meninggal dunia di Hamadan, Persia, pada tahun 428 H (1037 M). Kontribusinya yang tak ternilai membuatnya dijuluki sebagai “Bapak Kedokteran” oleh dunia, termasuk dalam peringatan Milenium Fair di Teheran pada 1955.
Menurut Dr. Prima Trisna Aji, dosen spesialis bedah, karya-karya Ibnu Sina seperti Kitab al-Qanun fi at-Tibb, Kitab Arjuzah at-Tibbiyah, dan Mausu’ah asy-Syifa’ tetap menjadi rujukan utama bagi mahasiswa dan praktisi kedokteran hingga saat ini. Ibnu Sina adalah tokoh abadi dalam sejarah kedokteran yang namanya terus harum sepanjang masa. []