Strategi Industri Jadi Kunci, Mungkinkah Indonesia Tumbuh 8 Persen?

  • Whatsapp
ilustrasi kinerja apbn
Ilustrasi kinerja APBN (IDX)

BacaJogja – Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini, memberikan sorotan tajam terhadap strategi pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya terkait sektor industri yang dinilai belum optimal. Ia menegaskan, tanpa perubahan signifikan dalam kebijakan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen sulit dicapai.

Ekonom senior INDEF ini menyatakan, selama beberapa tahun terakhir, sektor industri terjebak dalam deindustrialisasi dini. Indeks PMI manufaktur yang terus berada di bawah angka 50 persen menjadi sinyal kuat lemahnya kinerja sektor ini. “Jika sektor industri tumbuh rendah di angka 3-4 persen, target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, apalagi 8 persen, hanyalah mimpi,” ujarnya.

Read More

Baca Juga: Kuota SNBP 2025: Peluang Besar bagi Sekolah Berakreditasi Tinggi, Berikut Rinciannya

Didik menekankan perlunya re-industrialisasi berbasis sumber daya alam sebagai strategi utama untuk keluar dari jebakan ini. Strategi ini, yang terbukti sukses pada era 1980-an hingga 1990-an, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen. “Indonesia harus fokus pada industri berbasis sumber daya alam, berorientasi ekspor, dan mampu bersaing di pasar internasional,” jelasnya.

Ia juga menyoroti perlunya diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara berkembang lainnya. “Permintaan global melambat, sehingga perlu pasar-pasar baru di luar Eropa, China, dan Amerika Serikat. Para duta besar harus diberi target konkret untuk meningkatkan ekspor,” tambahnya.

Baca Juga: Peringatan Cuaca Hari Ini di Yogyakarta: Hujan Lebat hingga Angin Kencang, Waspadai Dampaknya

Masalah Fiskal dan Beban Utang

Namun, persoalan sektor industri bukan satu-satunya tantangan. Didik juga menggarisbawahi masalah fiskal, terutama beban utang yang terus membengkak. Rasio utang terhadap PDB meningkat dari 26 persen pada 2010 menjadi 38,55 persen pada 2024, dengan total utang pemerintah mencapai Rp8.473,90 triliun per September 2024.

“Kebijakan utang yang tidak sehat ini memaksa Indonesia membayar bunga dengan suku bunga tertinggi di ASEAN, yakni 7,2 persen. Bandingkan dengan Thailand 2,7 persen atau Vietnam 2,8 persen. Akibatnya, anggaran negara terkuras untuk membayar bunga utang hingga Rp441 triliun per tahun,” ungkap Didik.

Baca Juga: Kinerja APBN DIY Tumbuh Positif hingga November 2024, Belanja Negara Capai Rp21,38 Triliun

Kualitas Belanja yang Memburuk

Didik juga menyoroti penurunan kualitas belanja pemerintah. Porsi belanja untuk membayar bunga utang kini menjadi salah satu yang terbesar, mencapai 20,10 persen dari total belanja pemerintah pada 2024, dibandingkan 11,09 persen pada 2014. Sementara itu, belanja produktif semakin menyusut, digantikan oleh belanja pegawai dan barang yang meningkat menjadi 36 persen.

“Jika kondisi ini terus berlangsung, pemerintahan berikutnya akan mewarisi beban berat. Politik anggaran yang tidak sehat hanya akan memperburuk situasi,” ujar Didik.

Baca Juga: Jadwal 30 Perjalanan KRL Yogya-Palur Selama Nataru 19 Desember 2024-5 Januari 2025

Di akhir catatannya, Didik menegaskan bahwa pengelolaan ekonomi nasional tidak bisa hanya bergantung pada janji-janji besar tanpa strategi konkret. Ia berharap pemerintah mampu menerapkan kebijakan yang lebih fokus dan efektif untuk mendorong sektor industri serta mengelola fiskal dengan lebih bijak.

“Target tinggi harus didukung dengan strategi yang realistis dan implementasi yang konsisten. Tanpa itu, pertumbuhan 8 persen hanya akan menjadi wacana,” pungkasnya. []

Related posts