BacaJogja – Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan untuk menghapus presidential threshold, yaitu syarat ambang batas minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Permohonan ini diusulkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka menilai bahwa penggunaan suara dari pemilu sebelumnya untuk dua periode pemilihan menciptakan distorsi representasi demokrasi.
Baca Juga: Jogja Pandu Peradaban Nusantara: Membangun Keharmonisan dalam Keistimewaan DIY
Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang menjadi ahli dalam uji materi Pasal 222 UU Pemilu, menilai putusan ini sangat signifikan. Ia menjelaskan bahwa pasal terkait presidential threshold adalah salah satu pasal yang paling sering diuji sepanjang sejarah MK. “Jika ambang batas 20% terus dipertahankan, besar kemungkinan hanya ada satu pasangan calon, yang sangat buruk bagi demokrasi,” tegas Yance dikutip dari laman UGM.
Menurut Yance, penghapusan ini memungkinkan semua partai politik yang lolos verifikasi untuk mencalonkan kadernya sebagai presiden. Dampaknya, pilihan bagi masyarakat menjadi lebih banyak dan proses representasi politik lebih baik. “Makin banyak opsi itu lebih baik daripada sedikit opsi,” ujarnya.
Yance juga menyoroti bahwa penghapusan threshold ini tidak akan menyebabkan pembengkakan anggaran negara untuk pemilu dua putaran. Namun, biaya yang harus dikeluarkan oleh calon presiden diperkirakan meningkat karena banyaknya kontestan yang harus bersaing. “Kampanye akan membutuhkan strategi yang lebih efisien untuk menarik suara,” tambahnya.
Baca Juga: Kalender Jawa 2025: Menguak Harmoni Weton, Pasaran, dan Tradisi Leluhur
Yance menyebut putusan ini sebagai langkah penting untuk mencegah kemerosotan demokrasi, yang telah menjadi fenomena global. Ia menyoroti kasus terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat dan Bongbong Marcos di Filipina sebagai contoh bagaimana demokrasi bisa mengalami regresi. “Putusan MK ini adalah oase harapan agar kemerosotan demokrasi di Indonesia tidak makin parah,” ungkap Yance.
Yance mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mempersiapkan perubahan Undang-Undang Pemilu tahun 2029 berdasarkan putusan MK ini. Ia berharap proses revisi undang-undang tersebut dilakukan secara terbuka dan partisipatif. “Proses ini harus menjadi acuan untuk menciptakan pemilu dan sistem politik yang lebih demokratis,” pungkasnya. []