BacaJogja — Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersama Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial, Jumat (19/12/2025). Penandatanganan ini menjadi langkah strategis dalam penguatan sistem pemidanaan yang lebih berorientasi pada kemanfaatan sosial, pemulihan hubungan kemasyarakatan, serta pendekatan keadilan yang lebih manusiawi.
Penandatanganan MoU berlangsung di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, dan dihadiri oleh jajaran Kejaksaan se-DIY serta para bupati dan wali kota di wilayah DIY.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa hukum tidak boleh dimaknai semata-mata sebagai alat penghukuman, melainkan sebagai instrumen kebijaksanaan untuk menjaga keseimbangan hidup bersama secara berkelanjutan.
“Hukum, pada hakikatnya, bukan semata perangkat normatif untuk menghukum kesalahan, melainkan pranata kebijaksanaan, yang dirancang untuk menjaga keseimbangan hidup bersama,” ujar Sri Sultan.
Negara Hadir Kelola Keadilan Secara Manusiawi
Sri Sultan menekankan bahwa penandatanganan MoU pelaksanaan pidana kerja sosial harus dimaknai sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam mengelola keadilan yang lebih adil dan berorientasi jangka panjang.
“Penandatanganan MoU tentang pelaksanaan Pidana Kerja Sosial ini harus dimaknai sebagai langkah strategis, yang menegaskan hadirnya negara sebagai pengelola keadilan yang manusiawi, terukur, dan berorientasi pada kemanfaatan sosial jangka panjang,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menempatkan pidana kerja sosial sebagai pidana pokok, sekaligus menandai perubahan besar dalam paradigma pemidanaan nasional.
“Transformasi ini menandai pergeseran paradigma pemidanaan nasional: dari orientasi retributif, menuju pendekatan yang rehabilitatif, restoratif, dan reintegratif,” terang Sri Sultan.
Ruang Pemulihan bagi Pelaku dan Masyarakat
Menurut Sri Sultan, pidana kerja sosial memberikan ruang pemulihan tidak hanya bagi pelaku tindak pidana, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.
“Pidana kerja sosial memberi ruang bagi pelaku untuk menebus kesalahan melalui kerja nyata yang berguna bagi masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan komunikasi yang empatik dalam menyosialisasikan pidana kerja sosial kepada masyarakat agar tidak menimbulkan stigma maupun ketakutan.
“Karena pidana kerja sosial adalah wajah baru hukum yang lebih manusiawi, maka cara mengomunikasikannya pun harus bergerak dari menara regulasi ke ruang hidup masyarakat, menggunakan bahasa sederhana, narasi empatik, dan pesan yang membangun kesadaran, bukan ketakutan,” tambah Sultan.
Kejati DIY: Perlu Peran Aktif Pemda
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi DIY, I Gde Ngurah Sariada, menyampaikan bahwa lahirnya KUHP Nasional Tahun 2023 merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum pidana Indonesia.
“Salah satu substansi penting yang diperkenalkan adalah pidana kerja sosial, sebuah bentuk pemidanaan alternatif yang memprioritaskan pemulihan, pendidikan, dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar pembalasan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial membutuhkan keterlibatan aktif pemerintah daerah dan berbagai instansi terkait.
“Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak dapat berjalan hanya oleh aparat penegak hukum. Diperlukan perangkat pemerintah daerah dan instansi terkait sebagai mitra strategis Kejaksaan untuk menyediakan sarana, prasarana, serta ruang sosial bagi pelaksanaan kerja sosial di wilayahnya,” tuturnya.
Berlaku Efektif 2026
Sebagai informasi, UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026, menggantikan KUHP lama yang telah digunakan sejak tahun 1946.
Kegiatan ini turut dihadiri Plt Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Undang Mugopal, jajaran Kejaksaan Negeri se-DIY, serta para kepala daerah di lingkungan Pemerintah Daerah DIY. []






