Mengenal Ragam Tumpeng dalam Masyarakat Jawa, Sejarah dan Filosofinya

  • Whatsapp
ragam tumpeng dan filosofinya
Ragam tumpeng dalam masyarakat Jawa, sejarah dan filosofinya. (Foto: Syarifatun)

Yogyakarta – Pada peringatan ulang tahun Museum Sonobudoyo yang ke-86 tahun, digelar pameran yang bertajuk “Upaboga: Ketika Makanan Bercerita”. Pameran ini digelar di Gedung Pameran Temporer Museum Sonobudoyo, Jl. Pangurakan No. 4 Yogyakarta atau biasa dikenal di titik 0 Kilometer Yogyakarta. Pameran berlangsung dari tanggal 6 November sampai 30 Desember mendatang.

Hal yang unik di pameran kali ini, ialah penyajian berbagai jenis tumpeng dengan bentuk yang unik. Namun, tumpeng yang disajikan ini tidak bisa dicicipi karena hanya sebagai pajangan agar pengunjung tahu bentuk tumpeng sekaligus sejarahnya.

Read More

Umroh akhir tahun

Seperti yang dikenal masyarkat Jawa, tumpeng yang berada di Keraton memiliki wujud yang sama, dibentuk kerucut dengan menggunakan kukusan atau cetakan. Kata Tumpeng sendiri merupakan akronim dari tumapaking penguripan, tumindak lempeng, tumuju pangeran. Yang memiliki manusia harus menuju jalan Tuhan yang Maha Esa.

Baca Juga: Sosok Bu Prapti, Penjual Buah Gayam Rebus yang Masih Eksis di Klaten

Setiap penyajian tumpeng, merupakan sebuah wujud simbol pemohonan atas perlindungan, keselamatan, serta ridha dari Tuhan untuk setiap hajat yang ada di kehidupan masyarakat.

Dalam tradisi Keraton Yogyakarta, tumpeng setidaknya digunakan 12 kali dalam kehidupan manusia dalam sebuah upacara penting. Di antaranya, upacara akil baligh, kehamilan, kelahiran hingga upacara kenaikan tahta. Bahkan dalam upacara hari besar keagamaan, biasanya selalu menghadirkan tumpeng dengan ukuran yang besar.

Beberapa tumpeng yang disajikan pada pameran di Museum Sonobudoyo kali yakni:

Tumpeng Gundhul

Tumpeng Gundhul
Tumpeng Gundhul. (Foto: Syarifatun)

Merupakan tumpeng polos berbentuk kerucut dengan tinggi kurang lebih 20 sentimeter, tidak dihias menggunakan aneka ragam sayur dan lauk, melainkan dikelilingi aneka ragam jenis tujuh jenang atau biasa dikenal dengan bubur. Tumpeng ini disajikan dalam wadah cekenthong, setiap masing-masing cekenthong berlainan.

Baca Juga: Mengenal Brongkos, Kuliner Khas Kegemaran Raja Keraton Yogyakarta

Satu cekenthong berisi jenang putih, tempat kedua jenang merah, tempat ketiga jenang putih palang jenang abang, tempat keempat berisi jenang putih diselingi sedikit jenang abang, tempat kelima berisi jenang baro-baro (jenang putih diberi parutan kelapa dan irisan gula), tempat keenam berisi jenang abang palang jenang putih, dan tempat ketujuh berisi setengah jenang abang serta setengah jenang putih. Semua itu ditempatkan di sebuah tampah yang dilapisi dengan alas daun pisang.

Tumpeng Gundhul memiliki makna untuk menyimbolkan kelahiran bayi yang lahir ke dunia dalam keadaan polos, bersih, dan suci lahir batin. Bayi tersebut lahir ke dunia dalam keadaan tidak membawa serta mempunyai apa-apa dan belum ada apa-apanya. Yang dimiliki hanya berupa jiwa dan raga yang melekat pada diri bayi. Ketujuh jenang yang mengelilingi tumpeng bermakna bahwa pada saat kelahiran bayi dalam tradisi Jawa Kuno, bayi itu selalu diringi tujuh saudaranya. Yang berasal dari darahnya, kotorannya, kawahnya, ari-ari serta yang lainnya.

Tumpeng Kapuranto

Tumpeng Kapuranto
Tumpeng Kapuranto (Foto: Syarifatun)

Merupakan tumpeng yang dibuat dengan maksud sebagai simbol permohonan maaf, yang dipresentasikan dalam wujud nasi tumpeng. Uniknya, tumpeng ini dibuat dengan warna biru blawu. Biasanya tumpeng dibuat dengan warna kuning atau putih, tetapi kalau tumpeng satu ini dengan warna biru. Tak hanya nasi saja, tumpeng Kapuranto dihiasi dengan aneka ragam jenis sayur dan lauk. Seperti, sambel goreng daging, urap, bakmi, capcai, telur, semur daging, perkedel, acar dan juga kerupuk.

Tumpeng pungkur
Tumpeng Pungkur merupakan tumpeng yang bisa dibilang unik. Tumpeng ini dibuat untuk acara kematian wanita atau pria lajang. Tumpeng yang dibuat dari nasi putih serta disajikan dengan sayur dan lauk pauk. Tumpeng dipotong secara vertikal dan juga peletakannya saling membelakangi.

Tumpeng Pungkur
Tumpeng Pungkur. (Foto: Syarifatun)

Penyajian tumpeng ini merupakan wujud rasa duka cita atas meninggalnya seseorang yang masih lajang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Tujuan dibelahnya tumpeng serta disajikan saling membelakangi, ialah sebagai perlambang kehidupan dan juga kematian.

Baca Juga: Viral Kuliner Sambal Belut Pak Wardi di Sleman Yogyakarta

Tumpeng ini juga dibuat bukan untuk dikonsumsi, melainkan untuk didiamkan di dalam rumah selama satu malam, lalu pagi harinya dihanyutkan ke sungai. Tumpeng ini disajikan saat peringatan kematian pada hari ke 3, 7, 40, sampai ke 1.000 harinya.

Tumpeng ini diberi lauk pauk sederhana, berupa apem, ketan kolak serta sayur. Lalu di sampingnya turut disajikan perlengkapan lain, seperti sayuran yang sudah direbus dengan bumbu urap yakni kacang panjang, bayam, kangkung, kubis, buncis, wortel dan juga kecambah. Selain itu juga ada telur ayam rebus, cobek tanah liat serta kembang setaman.

Tumpeng Kendhit
Merupakan tumpeng yang dibuat dengan tujuan untuk menggambarkan dinamika hidup manusia. Pada dasarnya, manusia merasakan kebahagiaan, kegagalan, kesedihan, keberuntungan, keberhasilan dan kesialan. Semua manusia pasti akan merasakan hal itu. Di sekelompok orang percaya bahwa, tumpeng ini konon syahdan dibuat untuk sebuah permohonan untuk keluar dari sebuah permasalahan atau kesulitan yang
sedang melanda, serta tidak diganggu kekuatan jahat dari luar.

Tumpeng Kendhit
Tumpeng Kendhit. (Foto: Syarifatun)

Tumpeng tersebut berbentuk kerucut dengan warna putih dan di tengahnya melingkar nasi kuning. Dalam filosofinya, warna kuning yang melilit di tengah tumpeng melambangkan sebuah gangguan dan kesulitan kehidupan. Lauk pauk yang ada merupakan perlambang pemecahan masalah yang mungkin akan muncul sebagai pilihan solusi. Serta setiap jenis lauk menggambarkan sebuah jenis dari pemecahan masalah tersebut.

Baca Juga: Popularitas Ayam Geprek di Yogyakarta Menggeser Ayam Penyet

Tumpeng Kendhit terbuat dari nasi putih dengan dibentuk model kerucut atau seperti bentuk gunung. Di tengah gunungan nasi putih, diberi perasan kunyit warna kuning dan mengelilingi tumpeng. Untuk melengkapi tumpeng, dihiasi berbagai macam lauk diantaranya, sambel goreng daging giling, capcai, acar, semur daging, terik daging, telur ceplok, perkedel, kerupuk udang dan rempeyek kacang.

Itulah beberapa sajian tumpeng yang dihadirkan di pameran yang digelar di Museum Sonobudoyo. Walaupun sama-sama tumpeng, ternyata berbeda makna dalam setiap bentuknya. Sebenarnya masih ada lagi jenis tumpeng yang lain, beserta makanan-makanan unik lain yang menjadi khas di daerah Keraton Yogyakarta. Belum lagi barang-barang atau benda unik lain yang sengaja dipajang di pameran, yang terkandung makna, sejarah, filosofi dan hal unik yang terkait lainnya. []

Artikel kiriman Syarifatun, Mahasiswi Program Studi Public Relations ASMI Santa Maria Yogyakarta.

Related posts