Yogyakarta – Pada Jumat-Sabtu, 18-19 Maret 2022 lalu digelar Festival Van Der Wijck. Festival ini merupakan pesta rakyat dengan memadukan antara pertanian dan pariwisata sekaligus mengangkat dan mempromosikan potensi wisata di kawasan Sleman bagian barat.
Festival tersebut akan menyuguhkan beragam pertunjukkan yang kental akan budaya serta masyarakat yang berkarakter unik. Antara lain Umbul Donga, Gelar Seni Tradisi Selawat Pitutur, Van Der Wijck Walk, Festival Kirab adat Memetri Buk Renteng, Pergelaran Seni Petunjukan Pasar Buk Renteng, Workshop, Pameran Fotografi bertajuk “Smile of Van Der Wijck” serta sarasehan.
Baca Juga: Jangan Lupa, Festival Van Der Wijck Hari Ini dan Besok di Buk Renteng Tempel Sleman
Lantas bagaimana sejarah berdirinya Kanal Van Der Wijck atau Buk Renteng yang berada di perbatasan Kapanewon Minggir dan Tempel di Kabupaten Sleman ini? Buk Renteng dilihat dari kejauhan, tampak seperti jembatan atau tembok yang besar. Tapi aslinya merupakan saluran irigasi.
Buk Renteng berarti jembatan yang bergandengan. Uniknya, bangunan yang berada di Dusun Tangisan, Kalurahan Banyurejo, Kapanewon Tempel ini merupakan saluran irigasi dengan beberapa terowongan yang berjejer di bawahnya.
Saluran irigasi Van Der Wijck ini masih dalam sistem Selokan Mataram yang menghubungkan dua sungai besar di Yogyakarta, yakni Sungai Progo dan Sungai Opak. Buk Renteng memiliki ketinggian sekitar 4 meter di atas permukaan tanah, lebar 2,5 meter dengan kedalaman rata-rata 2-3 meter.
Baca Juga: Filosofi dan Makna Geblek, Camilan Tradisional Khas Kulon Progo
Jaringan induk selokan Mataram ini dibangun pada zaman penjajahan Belanda tahun 1902-1932. Jaringan induk selokan Mataram ini dibangun pada zaman penjajahan Belanda tahun 1902-1932. Penamaan Van Der Wick tidak lepas dari peran Gubernur Jenderal yang bernama lengkap Jonkheer Carel Herman van Der Wick.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX turut dalam pembangunan dengan melibatkan warga dalam jumlah besar. Upaya kerja massa ini juga bagian dari strategi Sri Sultan HB IX yang melindungi rakayat Yogyakarta dari kerja paksa Romusha Jepang yang terkenal kejam pada masa itu.
Pembangunan atau konstruksi bangunan ini menggunakan teknologi gravitasi bumi dengan dibuat lebih tinggi dari jalan dan area persawahan di sekitarnya. Terdapat terowongan di bawah saluran air yang berfungsi sebagai jalan yang dilintasi kendaraan.
Baca Juga: Viral Mobil Luxio Terperosok Selokan di Tempel Sleman
Awal berdirinya, pembangunan selokan ini mengaliri lahan tebu yang banyak terdapat di Kapanewon Minggir dan Moyudan. Lahan tebu tersebut harus menyuplai kebutuhan pokok 19 pabrik gula di Yogyakarta pada zaman Belanda.
Hingga kini, saluran irigasi ini masih memberikan manfaat bagi petani setempat. Saluran irigasi ini bisa memenuhi kebutuhan air untuk 20.000 hektare sawah di Sleman bagian barat. []