BacaJogja – Koko Triantoro, alumni Prodi Pendidikan IPA Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta berbagi cerita saat ditempatkan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Kesenjangan sangat terasa dibanding dengan Pulau Jawa.
“Pengalaman mengajar di daerah terpencil 3T, saya sadar akan kesenjangan yang sangat tinggi utamanya bidang pendidikan yaitu bahasa, membaca dan berhitung,” kata Alumni Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Dan Tertinggal (SM3T), Selasa, 5 Juli 2022.
Baca Juga: Kemenkes Buka Pendaftaran Bantuan Pendidikan Scholarship Dokter Spesialis dan Subspesialis
Koko menjadi relawan pendidikan di SD Embacang Lama Kabupaten Musi Rawas Utara, sempat ditempatkan di Ende Nusa Tenggara Timur serta pernah mengajar di Astra Agro School Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Dia mengatakan, sejak 2017 yang bertugas di SD Rompok Tebing Tinggi dan harus berjalan kaki pulang pergi 90 menit melewati hutan. Padahal jika ditempuh menggunakan perahu hanya 15 menit. Saat itu mulai terpikir kesadaran untuk membangun pedalaman.
Baca Juga: UNY Jadi Koordinator Tes Seleksi Pendidikan Guru, Ini Jadwal dan Teknis Pelaksanaan
Koko juga aktif di Koordinator Relawan Negeri Nasional yang menaruh perhatian terhadap pendidikan di daerah terpencil. Sebagai relawan Koko juga menaruh perhatian pada pendidikan di wilayahnya, seperti di SD Negeri Sungai Jambu wilayah Dusun 5 Desa Muara Tiku Kecamatan Karang Jaya Musi Rawas Utara.
“Para siswa sekolah ini rela berjalan kaki selama satu jam menempuh jalan yang curam dan menyeberangi sungai. Jika hujan lebat para siswa tersebut terlambat datang atau tidak masuk sekolah karena jalan yang sulit untuk dilalui,” jelasnya.
Baca Juga: Dinsos DIY Jamin Pendidikan Anak Yatim Piatu yang Orang Tuanya Meninggal karena Corona
Pihak sekolah memang sangat mengerti keadaan para siswa tersebut dan tetap bangga karena siswa ingin terus sekolah walaupun harus berjalan jauh. Harapannya ada bantuan perahu untuk 20 siswa dan 9 guru yang mengajar di SD Negeri Sungai Jambu karena dapat memotong waktu ke sekolah menjadi hanya sekitar 15 menit saja.
Menurut Koko kegiatan mengajarnya di SD Embacang Lama menghadapi kesulitan karena kendala bahasa. Selama ini siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah sehingga kesulitan memahami pelajaran. “Saat ini kami sedang menggarap program zero literacy (nol buta aksara/membaca) dengan metode calistung grade” kata Koko.
Baca Juga: Hebat, Anak Buruh Jahit Asal Purworejo Lulus Cumlaude UNY
Metodenya dari kelas 1-6 itu akan diklasifikasikan siswa dengan grade A-D kategori kemampuan membaca. Setelah didapat data dari wali kelas, siswa akan dikelompokan dalam grade tersebut sesuai kemampuannya.
Grade terendah D dan tertinggi A. Waktu kegiatan diambil seminggu 2 kali 30 menit menjelang waktu pulang. Hasilnya akan dievaluasi tiap 2 minggu sekali. Buku panduannya disusun buku latihan baca, sehingga diharapkan satu semester grafik kemampuan siswa membaca meningkat. “Karena grade hanya 4, maka 2 kelas grade bisa dipegang 2/3 guru sehingga siswa lebih intens dalam pendampingan membaca,” ungkapnya.
Baca Juga: Waspadai Praktek dan Jenis Pungutan Liar PPDB 2022
Apa yang dilakukan Koko ini merupakan Program Guru Garis Depan (GGD) dan Sekolah Garis Depan (SGD), sebuah perwujudan nawacita ketiga berupa tenaga pendidik dan pembangunan sekolah di daerah 3T. Presiden Joko Widodo berharap dari dua program ini, wilayah pinggir Indonesia juga ikut maju. Salah satu melalui bidang pendidikan.
Program GGD dimulai pada 2015 dengan mengirimkan 798 guru ke 28 kabupaten di daerah 3T yang tersebar di empat provinsi. Ke-798 guru tersebut terpilih melalui seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi PNS untuk para lulusan SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah 3T). Dari target sebanyak 4.298 guru, sebanyak 1.480 guru yang mendaftar. []