Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi Tidak Satu Garis Lurus

  • Whatsapp
keraton Yogyakarta
Abdi dalem melaksanakan tardisi adat di Keraton Yogyakarta. (Foto: Fanspage Kraton Jogja)

BacaJogja – Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan konsepsi Jawa dengan mengacu pada bentang alam yang ada, seperti gunung, laut, sungai, serta daratan. Seiring dengan peringatan 10 tahun UU Keistimewan DIY, berikut beberapa hal sebagai pengingat Keistimewaan Yogyakarta.

Pada 1755, Sri Sultan HB I merancang tata Kota Yogyakarta berdasarkan prinsip-prinsip Jawa: Hamemayu Hayuning Bawono, Sangkan Paraning Dumadi, dan Manunggaling Kawula Gusti.

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta Masuk Nominasi Warisan Dunia

Prinsip Hamemayu Hayuning Bawono menjadi dasar utama yang mengandung makna membuat alam (bawono) menjadi indah (hayu) dan lestari (rahayu).

Prinsip tersebut diejawantahkan dalam rangkaian alam dan bangunan yang berupa Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan.

Baca Juga: Abdi Dalem Ngindrakila Keraton Yogyakarta, Cikal Bakal Lahir Dagelan Mataram

Pemilihan lokasi pembangunan keraton dipilih mendekati sumber air di Umbul Pacethokan (sekarang Taman Sari). Selain itu, kontur tanah bangunan keraton juga di lokasi yang lebih tinggi, yang diapit 3 sungai di kanan dan 3 sungai di sebelah kiri. Berbagai vegetasi di sekitar keraton, juga ditata dengan sarat makna.

Sejatinya Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi tidak persis berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, poros bentang alam ketiganya disebut sebagai sumbu imajiner.

Baca Juga: Sejarah dan Filosofi Panahan Jemparingan Gaya Mataraman Keraton Yogyakarta

Sumbu nyata yang membentang utara selatan dalam satu garis lurus adalah jalan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, keraton, dan Panggung Krapyak. Ketiga penanda tersebut mewujudkan prinsip Sangkan Paraning Dumadi.

Sangkan berarti asal, sementara paran berarti tujuan. Filosofi ini dimaknai sebagai perjalanan manusia menuju Sang Pencipta.

Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Yogyakarta Hadiningrat

Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan). Yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya. (Fanspage Kraton Jogja)

Related posts