Sejarah dan Asal Usul Yogyakarta Hadiningrat

  • Whatsapp
pembanguan keraton jogja
Ilustrasi lukisan pembangunan Keraton Yogyakarta. (Foto: Ayodya/Pemda DIY)

BacaJogja – Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu daerah otonom setingkat provinsi dan beribu kota di Kota Yogyakarta. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya provinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama ibu kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.

Read More

Di Yogyakarta masih berdiri Keraton beserta adat tradisi yang tetap bertahan hingga saat ini. Berikut sejarah berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baca Juga: Sejarah dan Cikal Bakal Nama Sewon di Bantul Yogyakarta

Pada akhir abad ke-16 terdapat kerajaan Islam di Jawa bagian tengah selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kotagede (daerah yang secara administratif ada yang masuk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul). Pusat Kerajaan Mataram kemudian pindah ke Kerta, Pleret, Kartasura dan Surakarta.

Lambat laut kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang sudah dalam pengaruh Belanda antara lain Patih Pringgalaya.

Baca Juga: Sejarah Alun-alun Utara Yogyakarta dan Makna 64 Pohon Beringin

Untuk mengakhiri perselisihan tersebut akhirnya lahir Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari. Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 (Kamis Kliwon 12 Rabingulakir 1670 Tahun Jawa/TJ) menyatakan, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yakni Kaunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta atau lazim disebut Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumo yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Baca Juga: Mengenal Lima Masjid Pathok Negara Keraton Yogyakarta di Sleman dan Bantul

Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sedangkan Sunan Paku Buwono III sepakat memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru.

Tanggal 13 Maret 19755 (Kamis Pon Jumadilawal 1680 TJ) merupakan tanggal bersejarah bagi Kasultanan Yogyakarta. Pada tagggal tersebut merupakan proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta dikumandangkan. Selanjutnya Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.

Baca Juga: Masjid Saka Tunggal Tamansari Keraton Yogyakarta, Unik dan Sarat Filosofi

Proses pembangunan berslangsung hampir satu satu. Selama proses pembangunan itu, Sri Sultan HB I berserta keluarga dan para abdi dalem berpindah ke wilayah Yogyakarta. Namun terlebih dahulu menetap di Pesanggrahan Ambarketawang (kini secara administratif masuk Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman) sambil menunggu pembangunan keraton selesai.

Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756 (Kamis pahing 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa, peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga RasaTunggal dan Dwi Naga Rasa.

Baca Juga: Mengenal Plengkung Tarunasura di Wijilan Panembahan Kraton Yogyakarta

Perpindahan Pangeran Mangkubumi kemudian diikuti dengan pembangunan Keraton sebagai pusat pemerintahan dan jatung pusat kota Kerajaan. Di Keraton sendiri, bangunan pertama yang berdiri adalah Gedhong Sedahan di Kompleks Keputren.

Sementara di pusat kota kerajaan dibangun Alun-alun, Masjid Gedhe, Pasar Beringharjo, hingga Benteng Waluwarti. Bangunan tersebut menjadi elemen penting dari kedaulatan Yogyakarta. (Ayodya/Pemda DIY)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *