Sejarah dan Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta Karya Pangeran Mangkubumi

  • Whatsapp
Sumbu Filosofi Yogyakarta
Peta Sumbu Filosofi Yogyakarta. (Foto: Istimewa)

BacaJogja – Pascaperjanjian Giyanti 1755, Pangeran Mangkubumi membangun Keraton sebagai bagian tata kota yang diciptakan berdasar filosofi yang begitu mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan antar manusia.

Konsep rancangan kota merupakan cerminan perjalanan daur hidup manusia sejak lahir sampai mati, yang tertuang dalam Sumbu Filosofi yang menghubungkan Panggung Krapyak – Keraton – Tugu Pal Putih.

Read More

Baca Juga: Daftar Enam Warisan Budaya Dunia di Indonesia Termasuk Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sumbu tersebut merupakan gambaran konsep mikrosmos, yaitu alam kehidupan nyata yang menjadi laku peziarahan manusia. Secara paralel dalam konsep makrokosmos ada garis imajiner Selatan – Utara, yaitu Laut Selatan – Keraton – Gunung Merapi.

Sumbu Filosofis merupakan warisan arsitektur dan budaya yang masih tetap harmonis dengan kondisi geografis (alam) yang menopangnya. Pada 2017, Yogyakarta dengan sumbu filosofisnya ini telah masuk Tentative List United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu calon warisan budaya dunia.

Baca Juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta Resmi Diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia

Secara filosofis dari Panggung Krapyak ke Keraton dan Tugu memberikan gambaran konsep sangkan paraning dumadi (dari mana asal manusia dan arah kemana yang akan dituju). Gambaran manusia dari embrional, lahir, berproses, berkembang, eksis, dan pada akhirnya kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Panggung Krapyak – Keraton merepresentasikan makna Sangkan Paran yaitu asal muasal manusia untuk berproses menuju eksistensi.

Tugu – Keraton merepresentasikan makna Paraning Dumadi, yaitu manusia yang eksis berproses untuk menjalankan kehidupannya. Proses itu untuk mendapatkan kehidupan dalam Jalan Keutamaan, Jalan Kesejahteraan, Jalan Kemuliaan, dan mampu membebaskan diri dari berbagai halangan, godaan, serta nafsu angkara murka.

Baca Juga: Link Twibbon Dukung Sumbu Filosofi Yogyakarta Menjadi Warisan Dunia

Manunggaling Kawula – Gusti atau kesatupaduan antara Kawula dan Gusti atau antara rakyat dan raja (mikrokosmos) serta antara manusia dengan Tuhan (makrokosmos) dapat menjadi jalan kehidupan yang baik terutama dalam tataran untuk selalu menjalankan konsep hamemayu hayuning bawana. Makna konsep itu yaitu memperindah kehidupan di dunia atau menjaga kehidupan dunia secara baik. []

Sumber: Yuwono Sri Suwito. t.t. Kraton Yogyakarta Pusat Budaya Jawa. Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *