Sejarah dan Filosofi Panahan Jemparingan Gaya Mataraman Keraton Yogyakarta

  • Whatsapp
Panahan Jemparingan
Panahan Jemparingan gaya Mataraman Keraton Yogyakartaa. (Foto: Dok. Kraton Jogja)

BacaJogja – Paguyuban Jemparingan Mataram Keraton Yogyakarta menggelar Lomba Panahan Gaya Mataraman “Piala Ekalaya” Keraton Yogyakarta Hadiningrat Tingkat Nasional.

Lomba digelar di Kagungan Dalem Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta pada Sabtu, 30 Juli 2022 mulai 08.00-16.00 WIB.

Read More

Event yang didanai Dana Keistimewaan Yogyakarta ini terbagi dalam dua kategori lomba, yakni:
1. Dewasa Putra – Dewasa Putri (20 Rambanan, jarak 32 meter)
2. Anak-anak (10 Rambanan, jarak 15 meter).

Baca Juga: Napak Tilas Mataram di Kotagede Intro Living Museum Yogyakarta

Hadiah atau bengungah berupa Piala dan Trophy Juara serta uang pembinaan. Pendaftaran tidak dipungut alias gratis namun jumla peserta dibatasi 150 orang.

Sementara itu, dikutip dari laman Kraton Jogja, Jemparingan merupakan olah raga panahan khas Kerajaan Mataram. Panahan jemparingan ini berbeda dengan panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri, jemparingan dilakukan dengan duduk bersila.

Baca Juga: Menengok Dusun Perajin Keris di Sisi Tenggara Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Bantul

Asal usul jemparingan di Keraton Yogyakarta, atau juga dikenal jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), raja pertama Yogyakarta, mendorong segenap pengikut dan rakyatnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria.

Watak kesatria yang dimaksudkan adalah empat nilai yang harus disandang oleh warga Yogyakarta. Keempat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut adalah sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab.

Baca Juga: Praon Cawan, Lalu Lintas Air Penghubung Bantul dan Kulon Progo Sejak Zaman Mataram

Pemanah jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Busur diposisikan mendatar di hadapan perut sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.

Gaya memanah semacam ini sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta. Filosofi ini memiliki arti bahwa membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik.

Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta memiliki pesan agar manusia yang memiliki cita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada tujuan tersebut agar cita-citanya dapat terwujud. []

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *