BacaJogja – Pengamat sekaligus pakar perbankan dari FEB UGM Yogyakarta Dr. Eddy Junarsin menyatakan Pemerintah diminta fokus menjaga perekonomian nasional dari ancaman resesi dan menyehatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari pada mengeluarkan dana belasan triliun mendirikan BUMN baru.
Dia menilai, desakan DPR kepada pemerintah agar segera mengubah status Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi BUMN kurang urgent. Pasalnya, perubahan status tersebut menuntut pemerintah harus menganggarkan dana belasan triliun rupiah untuk menjadi pemegang saham mayoritas di BSI.
Baca Juga: Buruan Daftar! Lowongan Kerja Bank Indonesia, Cek Syarat dan Ketentuan di Sini
Eddy mendukung BSI menjadi bank BUMN sejajar dengan sejumlah bank Himbara lainnya seperti BRI, Mandiri, BNI dan BTN. Namun, kondisi keuangan negara yang sangat terbatas dan masih banyak BUMN lainnya yang sedang dibelit kesulitan keuangan, lebih bijak perubahan status BSI menunggu kondisi keuangan negara longgar dan perekonomian nasional pulih.
“Status BSI menjadi BUMN adalah sebuah keniscayaan. Namun, saya ingatkan pemerintah tidak perlu tergesa-gesa, karena harus memperhatikan banyak hal, agar perubahan status itu berjalan baik,” katanya saat dihubungi di Yogyakarta, 29 September 2022.
Baca Juga: Bank Jogja, BPR Pertama yang Punya Layanan Mobile Banking di Indonesia
Alumnus Southern Illinois University Carbondale US ini mengatakan, situasi ekonomi sekarang sedang panas. Dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina menjadi sebagian dari pemicu kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global.
Negara Tujuan Ekspor Sedang Sakit
Saat ini, tingkat inflasi di Amerika dan Eropa melonjak tinggi sehingga mayoritas negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia sedang ‘sakit’. Hal itu berdampak pada penurunan permintaan barang-barang asal Indonesia.
“Semua negara lebih konsen memulihkan perekonomiannya masing-masing, dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengamankan situasi ekonomi. Termasuk Indonesia, saya kira harus berhati-hati menghadapi ancaman resesi ekonomi ini,” jelasnya.
Baca Juga: Partai Ummat Kota Yogyakarta Menyayangkan Pencabutan Raperda BPR Syariah
Lebih lanjut Eddy mengungkapkan, selain ancaman resesi ekonomi, hal lain lainya yakni ada sejumlah BUMN yang sekarang ini dalam kondisi sulit. Salah satunya Maskapai Garuda Indonesia yang dibelit utang triliunan rupiah.
Pembenahan BUMN sakit menjadi langkah strategis. Bukan saja akan menghindarkan beban pemerintah dalam jangka panjang. Tapi sebaliknya, akan menjadikan BUMN sebagai pilar kekuatan ekonomi negara.
Baca Juga: 56 BUMN Buka 2.700 Lowongan Kerja, Ini Tata Cara Melamar dan Syarat Daftar
Menurut dia, secara de jure sebenarnya BSI sudah menjadi milik pemerintah dan negara setelah pemerintah memiliki satu lembar saham Dwiwarna Seri A pada Mei 2022. Begitu pula komposisi pemegang saham BSI saat ini yang dimiliki Bank Mandiri, BNI dan BRI, notabene merupakan bank Himbara yang mayoritas sahamnya dikuasai negara.
Sisi Negatif Banyak BUMN
Eddy juga menyoroti keberadaan BUMN di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Ada sisi negatif dari banyaknya BUMN salah satunya sulit membangun profesionalisme.
“Apakah bisa yang jadi eksekutif di BUMN itu sosok yang profesional, lebih independen daripada seperti yang sudah-sudah kita lihat di Indonesia? Ini pertanyaan lebih strategis yang musti kita jawab dulu sebelum membangun BUMN baru,” tandasnya.
Baca Juga: Eks Aktivis 98 Minta Menteri BUMN Batalkan Pengangkatan Ririek Adriansyah
Jadi, kata Eddy, lebih prioritas bagi pemerintah saat ini adalah menyehatkan BUMN yang sudah ada dan membangun iklim profesional di BUMN dari pada mendirikan BUMN baru.
Namun Eddy menduga rencana menjadikan BSI sebagai BUMN akan terjadi sebelum pesta demokrasi 2024. Pemerintah sekarang sangat mungkin ingin meninggalkan warisan atau karya yang monumental bagi bangsa. Salah satunya kemungkinan adalah menjadikan BSI sebagai BUMN. “semoga hal itu tidak mengesampingkan banyak hal yang akan menjadi beban negara dalam jangka panjang,” kata dia. []