FISIP UPN Veteran Yogyakarta Gelar Seminar Nasional Bebas Kekerasan Seksual

  • Whatsapp
Seminar Fisip UPN V YK
Sesi foto Bersama Seminar Nasional “Mewujudkan Kampus Bela Negara Bebas Kekerasan Seksual” pada Rabu, 24 Oktober 2022. (Foto: Miftachul Jannah)

BacaJogja – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Yogyakarta gelar Seminar Nasional “Mewujudkan Kampus Bela Negara Bebas Kekerasan Seksual” pada Rabu, 24 Oktober 2022 di Ruang Seminar FISIP Kampus II UPN “Veteran” Yogyakarta. Acara ini dalam rangka ulang tahun ke–29. Acara seminar ini menjadi agenda rutin tahunan FISIP.

“Sebagai Kampus bela negara, kita dapat mengimplementasikan nilai tersebut ke dalam kehidupan, baik sivitas akademika maupun mahasiswa,” kata Dekan FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Machya.

Read More

Umroh akhir tahun

Memasuki tahun keempat diadakannya seminar bela negara, FISIP UPN Veteran Yogyakarta selalu menghadirkan pembicara dari kalangan mahasiswa dengan tujuan agar pesan yang disampaikan tersampaikan dengan baik. Hal ini digunakan sebagai bahan untuk menumbuhkan ruang diskusi agar dapat bebas dari kekerasan seksual.

Baca Juga: KAI Daop 4 Semarang Gencarkan Kampanye Cegah Kekerasan Seksual 

Dengan tema kekerasan seksual, pihak Fakultas berencana akan turut mengambil peran dalam penanganan masalah kekerasan seksual di lingkup kampus dalam misi membantu Universitas dalam memecahkan permasalahan tersebut.

“Saya ikut seminar ini karena dorongan diri sendiri karena tingkat awarenessnya mulai naik terhadap kasus – kasus yang berbau kekerasan seksual,” Jelas Ashary, peserta seminar.

Seminar ini terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi oleh perwakilan mahasiswa (BEM KM) dari berbagai kampus di Yogyakarta seperti UNY, UGM, UIN dan UPN Veteran Yogyakarta. Dalam pembahasan diskusi Bersama yang membahas kekerasan seksual di kampus masing–masing, ternyata masih banyak permasalahan kekerasan seksual yang terjadi.

Baca Juga: Viral Pelecehan Seksual saat Naik Kereta Api, Ini Hukuman KAI kepada Pelaku

Beberapa permasalahan masih menjadi sebuah belenggu yang belum dapat terpecahkan. “Rendahnya pengetahuan dan budaya seperti hubungan kekuasaan yang timpang menjadi salah satu faktor permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus sulit terselesaikan,” ujar Diandra

Dalam diskusi yang berlangsung, dari berbagai kampus tersebut masih banyak korban yang mengalami kesulitan dan ketakutan untuk speak up hal yang terjadi kepada mereka. Selain itu, penyelesaiannya masih dianggap kurang tegas. “Mediasi dilakukan karena untuk menyelamatkan nama baik kampus, namun sebenarnya kampus memiliki wewenang dalam melindungi korban sebaik mungkin dengan risiko yang akan terjadi, salah satunya dapat membawa ke jalur hukum,” ungkap Rian.

Baca Juga: Viral, Pria Diduga Melecehkan dan Colek-colek Perempuan di Bantul

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguran tinggi, beberapa kampus di Yogyakarta sudah melakukan perencanaan sesuai aturan yang berlaku.

Selain menghadirkan pembicara dari kalangan mahasiswa, terdapat pula pembicara dari kalangan dosen dan konselor hukum yang dihadirkan pada sesi kedua. Pembicaranya antara lain Fauzul Haq selaku dosen hubungan masyarakat, Meike Lusey selaku dosen ilmu komunikasi dan Lisa Oktavia dari konselor hukum Rifka Annisa.

Dalam sesi kedua, dijelaskan bahwa terdapat tiga kekerasan yang sering terjadi di lingkungan kampus. Ketiganya yakni perbuatan asusila yang bertentangan dengan kehendak korban, pelecehan seksual fisik serta pelecehan seksual non fisik.

Baca Juga: Curhat di Twitter, Perempuan Jadi Korban Begal Payudara di Ganjuran Bantul

“Penting bagi kita agar menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara agar dapat lebih aware terhadap hak – hak yang dapat kita perjuangkan,” jelas Fauzul.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa sebanyak 324 responden, terdapat 163 kasus mahasiswa yang mengalami, mendengar dan melihat kekerasan seksual yang terjadi di kampusnya kurang lebih sebanyak 19 Universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal ini dikarenakan dua kebudayaan terstruktur yang membuat kekerasan seksual terus terjadi yaitu Rape Culture dan Victim Blaming.

Dengan terselenggaranya acara ini, Machya berharap agar seminar yang berlangsung dapat menjadi wadah diskusi yang diteruskan sebagai penggugah menuju kampus yang bebas kekerasan seksual.

“Harapannya, apa yang disampaikan di seminar tidak hanya berhenti pada diri sendiri, namun juga semua orang agar dapat meningkatkan awareness terkait kekerasan seksual kepada masyarakat di kampus,” tutup Ashary. []

Artikel dikirim oleh Diah Rahayu Agustin, Mahasiswa Hubungan Masyarakat UPN “Veteran” Yogyakarta

Related posts