BacaJogja – Ketua Paramadina Institute of Ethic and Civilization (PIEC), Pipip A. Rifai Hasan menyampaikan persoalan konflik di Palestina utamanya adanya migrasi dari orang-orang Yahudi ke Palestina dan dibiayai Yahudi di barat.
Kondisi tersebut menimbulkan nasionalisme di berbagai kawasan. Orang Yahudi di sana sendiri, sebagai imigran dan sudah lama tinggal berdampingan dengan berbagai etnis keagamaan sehingga nasionalisme Arab tidak mampu melawan Israel, kemudian pindah ke marxis sebagai ideologi alternatif.
Baca Juga: Ribuan Warga Gelar Aksi Solidaritas Palestina di Titik Nol Yogyakarta, Ini Tuntutanya
Hal itu disampaikan dalam sambutannya pada acara kajian etika dan peradaban ke-23 yang digelar Universitas Paramadina bekerja sama dengan PIEC, dan Yayasan Persada Hati.
Kajian bertema “Keadilan dan Kemanusiaan: Landasan Kemerdekaan Palestina” ini digelar pada Rabu, 15 November 2023 secara hibrid di Auditorium Nurcholish Madjid dan melalui zoom meeting dan dimoderatori oleh Alfikalia.
Dosen Paramadina Graduate School of Islamic Studies Husain Heriyanto melihat permasalahan ini terjadi karena efek migrasi besar-besaran ke tanah palestina. “Palestina adalah tanah yang disucikan oleh agama-agama Ibrahim (Yahudi, Kristiani, Islam), tetapi justru menjadi lokus konflik yang paling akut dan sengit, lokus genosida dan pembersihan etnis secara masif dan sistematis terhadap penghuni asli tanah Palestina (Muslim, Kristiani, Yahudi) oleh rezim apartheid Zionis Israel,” katanya.
Baca Juga: FUI DIY Kecam Kebrutalan Tentara Israel di Masjid Al-Aqsa Palestina
Dia mengutip Scott Ritter yang merupakan analis intelijen dan mantan marinir Amerika Serikat serta pengawas senjata PBB, “Ada tiga target strategis Hamas dan organisasi perlawanan dalam badai Aqsha, yaitu Pertama, menunjukkan eksistensi perjuangan Palestina dengan menghapus mitos militer Israel tak terkalahkan-intelijen yang paripurna; selama ini ada adagium bahwa arsitektur keamanan dan militer Israel diakui sebagai produk terbaik dari doktrin militer Barat,” jelasnya.
“Kedua, pertukaran tahanan untuk membebaskan ribuan anak-anak dan perempuan Palestina di Tepi Barat dan Gaza yang dikurung tanpa proses pengadilan. Ketiga, menghidupkan kembali gagasan kemerdekaan Palestina yang otentik dan riil setelah nyaris dilupakan dunia dengan perjanjian Abraham Accord, normalisasi Israel-Arab. Ini persis seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta-Solo,” tambah Husein.
Baca Juga: Politikus DIY Kecam Serangan Israel pada Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa
Mantan Duta Besar RI untuk Iran tahun 2012–2016 Dian Wirengjurit menyampaikan sudut pandangnya bahwa kejadian ini merupakan murni politik internasional. “Two state solution adalah solusi terbaik yang diberikan untuk Palestina dan Israel,” terangnya.
Pada dasarnya merupakan konflik politik internasional, Dian menekankan bahwa konflik Palestina – Israel hanya bisa diselesaikan oleh bangsa Palestina sendiri. “Organisasi internasional yang dianggap paling kompeten untuk menangani konflik tersebut adalah PBB. Tetapi pada dasarnya resolusi, deklarasi, dan pernyataan dari deklarasi internasional tidak ada yang mengikat, termasuk halnya Dewan Keamanan,” jelas Dian. []