BacaJogja – Pemerintah sendiri telah mengalokasikan enam lahan tambang untuk enam agama. Lahan yang dialokasikan bukan lahan yang sama sekali baru, melainkan lahan bekas kelolaan PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Melihat hal itu, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) DPD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wadah intelektual dan akademisi Katolik di Daerah Istimewa Yogyakarta digerakkan oleh kegelisahan akan hal tersebut telah mengundang para pakar pada bidangnya, untuk bersama-sama memaparkan dan mendiskusikan wawasan dan gagasan mereka pada hari Minggu 16 Juni 2024 bertempat di ruang Seminar II, Kampus II Thomas Aquinas Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh dan membangun perspektif secara komprehensif dari berbagai aspek atas pemberian ijin usaha tambang bagi ormas keagamaan oleh Pemerintah, melakukan pembacaan kritis atas kondisi aktual di lapangan, serta merumuskan masukan bagi ISKA DIY, Gereja Katolik, dan masyarakat pada umumnya guna menyikapi hal tersebut.
Baca Juga: Love’s Nurani Hasan, Anak Penjual Rempeyek Lolos Tanpa Tes dan Kuliah Gratis di UGM
Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 50 peserta dari berbagai organisasi massa dan aktivis umat Katolik DIY. Panel narasumber terdiri dari Prof. Dr. Ir Conradus Danisworo, M.Sc.(pakar pertambangan), Rm. Dr. Ir. Wiryono Priyotamtama, S.J., M.Sc. (rohaniwan dan pejuang ekologi), Arya Bima (politik), Dr. Agustinus Subarsono, M.Si., M.A. (kebijakan publik), Dr. Caritas Woro.
Dalam rilis ISKA DPD DIY yang ditandatangi oleh Ketua Umum Julius Harnondo dan Sekretaris Sekretaris TH Wahyu Dramastuti menyatakan melihat bahwa secara umum seluruh panel narasumber menyampakan nada penolakan serta kewaspadaan terhadap pasal 83A tersebut.
ISKA DPD DIY selanjutnya menyimpulkan hal-hal berikut :
1, Secara Teologis, ensiklik Laudato Si’ secara tegas telah menyerukan panggilan untuk mendengarkan jeritan ibu bumi, yakni bumi tempat penambangan-penambangan terus berlangsung tanpa etika dan pertimbangan masa depan; serta jeritan si miskin, yakni mereka yang menjadi korban akibat penambangan yang menghancurkan kehidupan masyarakat asli dan di sekitar pertambangan, serta si miskin yang lain yaitu segenap ciptaan lain yang eksistensi dan martabat mereka hancur karena pertambangan.
Baca Juga: Tarif Paket Lawang Sewu Night Tour 2024 Sambut Liburan Sekolah
2. Dari sisi Pertambangan, bisnis pertambangan sangat diwarnai dengan berbagai bentuk perilaku bisnis dan politik yang tidak sehat. Pertambangan secara riil sejauh ini juga belum berhasil menunjukkan praktik pertambangan yang lestari dan ramah lingkungan. Penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan di sektor pertambangan dapat menjauhkan agama dari tugas dan hakikat profetik dan etisnya.
3. Dalam kacamata pandang Ekologi, model pertumbuhan ekonomi yang kita hidupi selama ini, dengan dukungan kuasa politik dan teknologi, telah mengarahkan kita pada bencana perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Tanda-tanda ini sangat jelas dan secara mendalam telah dikaji oleh begitu banyak ahli.
Namun demikian upaya menghambat kerusakan lebih jauh terjadi nampak sangat sulit diwujudkan baik di tingkat diplomasi global, politik dan kebijakan domestik, kalangan dunia usaha, hingga gaya hidup seluruh warga dunia. Pencarian model ekonomi yang lestari telah banyak dilakukan namun masih belum menjadi gerakan yang meluas karena berbagai alasan, termasuk kurangnya niat baik dunia politik dan pelaku usaha konvensional.
Baca Juga: KRL Jogja Solo dan Prameks Tambah Perjalanan Selama Libur Iduladha 2024
4. Secara POLITIS, aroma balas budi dan pilih kasih pada ormas tertentu oleh pemerintah nampak menonjol. Hal ini bukan hanya memicu kecemburuan dan konflik politik, melainkan juga melemahkan legitimasi negara, integritas kebijakan publik, bahkan mengancam iklim usaha dan kepastian hukum di sektor pertambangan. Sebagaimana diingatkan WALHI, perubahan peraturan pemerintah ini menunjukkan pembangkangan penguasa terhadap konstitusi dan perundang-undangan dan menunjukkan karakter rezim yang hanya mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan rakyat.
Bahwa kebijakan ini telah mengancam kesatuan bangsa dengan memecah belah ormas agama dan non agama, internal kelompok agama antara kelompok pro dan kontra di dalamnya, juga membuka peluang konflik SARA di daerah pertambangan yang kebetulan masyarakat sekitarnya memiliki mayoritas agama yang berbeda dengan ormas agama yang bersangkutan.
5. Dalam aspek KEBIJAKAN PUBLIK, Formulasi kebijakan harus mempertimbangkan proses formulasi kebijakan yang sebisa mungkin melibatkan para pemangku kepentingan, serta isi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi target group.
Baca Juga: UNU Yogyakarta dan RMI DIY Dukung Program Merdeka Sampah di Lingkungan Pesantren
Dalam analisis ISKA DPD DIY terhadap proses, isi, dan dampak dari peraturan pemerintah ini menunjukkan betapa lemahnya kualitas kebijakan ini. Kebijakan ini terkesan dirumuskan sepihak dari atas, tanpa dialog yang memadai dengan pemangku kepentingan, kurangnya kajian yang mendalam, serta tanpa memperdulikan apakah kebijakan ini didukung atau tidak oleh publik.
6. Secara HUKUM, Hukum sebagai sistem harus konsisten dan padu baik horisontal maupun vertikal. Dalam hal ini peraturan pemerintah ini bermasalah. Hukum pertambangan juga terkait erat dengan hukum kehutanan, pertanahan, lingkungan, dan perpajakan. Hukum juga membentuk pola distribusi kewenangan dan manfaat dalam pemerintahan dan masyarakat.
7. Di ranah EKONOMI, bahwa ekonomi konvensional telah memberikan cara-cara tak terbatas bagi akumulasi kapital tanpa harus memperdulikan kelestarian alam, daya dukung sistem, maupun etika kehidupan. Bahwa peraturan pemerintah ini sejatinya adalah dorongan kuat kepada agama-agama untuk mengadopsi model-model utilitarian semacam ini.
Rekomendasi ISKA DPD DIY soal Tambang
Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan di atas, ISKA DPD DIY merekomendasikan sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah Republik Indonesia, ISKA DPD DIY mendesak agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut mengingat dampak buruk yang jauh lebih menonjol daripada kemanfaatan yang diperoleh publik. Pemerintah harus lebih memperhatikan kepentingan umum dan jangka panjang daripada memenuhi agenda kepentingan kekuasaan elit pemerintahan. Pemerintah harus terbuka mendengarkan kritik dan masukan dari semua pihak.
2. Kepada seluruh masyarakat Indonesia dan gerakan masyarakat sipil, ISKA DPD DIY mengajak semua pihak agar bersama mengkritisi bersama kebijakan ini, serta dalam jangka menengah dan panjang terus menyuarakan suara kritisnya kepada pemerintah demi mengawal praktik kekuasaan yang sungguh-sungguh mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan kekuasaan sesaat sebagaimana tercermin dalam kebijakan ini.
Baca Juga: Hyundai Hadirkan Layanan Inovasi Aftersales, Bikin Pengalaman Berkendara Makin Tenang
3. Kepada segenap warga Gereja dan komunitas agama-agama lain, ISKA DPD DIY mendorong agar memprioritaskan upaya membangun sumber dayanya dengan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang lestari. Alih-alih berinvestasi di sektor yang tak ramah lingkungan, agama justru bisa menjalankan peran profetiknya dengan mengarahkan dayanya pada pengembangan model bisnis hijau yang akan semakin tumbuh di masa depan.
4. Kepada segenap anggota ISKA DPD DIY dan ormas katolik lainnya, agar kembali ke semangat dasar dan akar spiritualitasnya, yakni nilai-nilai Katolik yang sejati. Agar ormas Katolik kembali mampu menjelmakan dirinya sebagai gerakan kader dan bukan gerakan politik kekuasaan, agar gerak langkah ormas Katolik dijalankan dengan semangat Katolik untuk mewujudkan tata hidup bersama yang bernafaskan iman Katolik, serta agar ormas Katolik menjadi pewarta iman Katolik yang sejati.
Secara khusus bagi ISKA, agar ISKA mampu menjadi kolam pemikiran yang cerdas, bernas, dan berdaya transformatif berlandas nilai-nilai Katolik sejati bagi seluruh bangsa Indonesia. []