BacaJogja – Peran APBN tetap tangguh sebagai shock absorber atau peredam kejut dan terus menunjukkan kinerja positif terhadap perekonomian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada akhir Mei 2024. Realisasi Belanja Negara di DIY diketahui mencapai Rp9,38 triliun sampai dengan 31 Mei 2024, tumbuh 11,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan signifikan Belanja Pemerintah Pusat (BPP) sebesar 18,95%, terutama pada Belanja Barang. Kenaikan signifikan Belanja Barang tersebut dipengaruhi oleh kontribusi kegiatan Dukungan Pelayanan Kesehatan Unit Pelaksana Teknis Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes yang mencapai Rp357,57 miliar.
Kepala Kanwil DJPb DIY, Agung Yulianta menjelaskan menjelaskan, kondisi perekonomian di DIY tumbuh 5,02% year to year (yoy) pada triwulan I tahun 2024 dan inflasi melambat.
Baca Juga: ARTJOG 2024, Ramalan tentang Gambaran Peristiwa dan Harapan Hari Esok
“Perekonomian DIY tumbuh 5,02% yoy dan tumbuh 0,91% dibandingkan triwulan IV tahun 2024 (qtoq). Seluruh komponen pengeluaran tumbuh positif,” katanya dalam jumpa pers APBN KiTA Regional Provinsi D.I. Yogyakarta (DIY) hingga 31 Mei 2024 bersama Pimpinan Eselon I Kementerian Keuangan di Kanwil DJPb DIY, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Selasa, 2 Juli 2024.
Hadir sebagai narasumber dalam acara ini selain Agung Yulianta, yakni Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan, Parjiono; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DIY, Erna Sulistyowati; Kepala Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Yogyakarta, Tedy Himawan; Kepala KPKNL Yogyakarta, Ibu Tuti Kurniyaningsih; dan Kepala BDK (Balai Diklat Keuangan) Yogyakarta, Endang Widajati.
Baca Juga: Seberapa Besar Masyarakat Indonesia Menggunakan QRIS dalam Pembayaran?
Agung mengatakan, Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) mencapai Rp47,89 triliun dan PDRB ADHK (Atas Dasar Harga Konstan) Tahun Dasar 2010 mencapai Rp30,68 triliun.
Menurut dia, pertumbuhan tertinggi disumbang sektor Pengeluaran Konsumsi Akhir Lembaga Non Profit Yang Melayani Rumah Tangga (PKLNPRT) sebesar 20,29%. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada komponen Ekspor dan Impor Barang dan Jasa sebesar 2,02 % dan 3,78%. “Pertumbuhan ekonomi DIY secara qtoq memang melambat dibandingkan tahun sebelumnya, namun perekonomian DIY masih cukup kondusif,” ujar Agung.
Inflasi di DIY pada Mei 2024 sebesar 2,28 yoy dan 0,81% year to date (ytod/sepanjang 2024). Kabar baiknya, inflasi di DIY -0,08% secara month to month (mtom) pada Mei 2024 atau dengan kata lain terjadi deflasi atau penurunan harga-harga.
Penyumbang utama inflasi antara lain kelompok makanan, minuman, dan tembakau (1,44%); kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya (0,30%); dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran (0,12%). Sementara Indeks Harga Konsumen (IHK) di DIY yakni sebesar 106,11.
“Secara bulanan, terjadi deflasi di DIY -0,08%, sementara nasional sebesar -0,03%. Secara tahun kalender, inflasi DIY sebesar 0,81% atau lebih rendah dari nasional 1,16%,” tutur Agung.
Pendidikan dan Pariwisata Turut Menggerakkan Perekonomian Yogyakarta
Agung mengatakan, pertumbuhan ekonomi DIY yang menuju arah positif ini didorong oleh aktivitas domestik seperti peningkatan daya beli masyarakat, meningkatnya mobilitas masyarakat yang ditopang oleh kegiatan perjalanan dan liburan yang menghasilkan stimulus ekonomi tambahan.
Kemudian, sektor jasa pendidikan berkontribusi sebesar 8,30% relatif terjaga dengan tumbuh 5,89%. Kondisi ini didukung oleh jumlah pelajar dan mahasiswa lokal dan perantau di DIY pada tahun 2024 mencapai 638.345 orang.
Baca Juga: Data Nasional Hancur, Cukupkah Hanya Menkominfo yang Mundur?
Namun, Kanwil DJPb DIY mengingatkan sejumlah hal yang perlu diperhatikan pemda lingkup DIY agar ekonomi DIY tetap kokoh menghadapi ketidakpastian global. Terutama mengatasi ketimpangan di DIY bagian utara dan selatan berdasarkan sisi ekonomi dan indeks pembangunan manusia (IPM).
Skor IPM pada kawasan utara DIY jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skor IPM pada kawasan selatan DIY. Secara ekonomi sisi selatan lebih tertinggal dari sisi utara yang memiliki sentra pertumbuhan ekonomi lebih banyak sehingga menyebabkan kemiskinan di sisi selatan lebih tinggi.
“Keseimbangan primer DIY sampai dengan Mei 2024 masih negatif disebabkan oleh adanya kenaikan belanja negara yang lebih tinggi secara nominal dibandingkan dengan kenaikan pendapatan negara secara nominal. Selain itu ada penerimaan negara di DIY yang disetor ke pusat,” kata Agung.
Baca Juga: Ini Jumlah Penerima Bansos “Semangat” di Sleman Senilai Rp150.000 selama 12 Bulan
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan, Parjiono mengatakan pemda lingkup DIY perlu ikut mewaspadai gejolak global yang belum pasti kapan usainya. Kondisi perdagangan dan investasi global yang melemah akibat naiknya jumlah sanksi dagang harus turut diwaspadai pemda.
Dia mengatakan, harga komoditas volatile dipicu oleh disrupsi rantai pasok dan high demand. Di sisi lain El Nino berkepanjangan juga mengganggu proses panen komoditas pangan. Lalu pasar keuangan domestik masih terdampak sentimen global tersebut.
“Namun di sisi lain, Indonesia masih mampu menjaga neraca perdagangan tetap surplus dalam 49 tahun terakhir dan inflasi tetap terkendali pada Mei 2024 dengan tekanan terhadap harga pangan mulai mereda,” kata Parjiono. []