Negeri yang Sedang Menjauh dari Keadilan dan Demokrasi

  • Whatsapp
Keadilan dan Demokrasi
Ilustrasi Keadilan dan Demokrasi (Istimewa)

Oleh: Surya Guntur Alam *)

Di suatu negeri antah berantah, terdapat sebuah bangsa yang dipimpin oleh sebuah kerajaan superjahat yang dipenuhi oleh tokoh-tokoh bengis dari klan Kurawa. Sang pemimpin tertinggi, Durmasena, sudah tiga kali berturut-turut memenangkan pertarungan sengit memperebutkan singgasana. Tak ada yang bisa menandingi kekuasaannya yang kuat, kecuali seorang tokoh licik bernama Duryodana, yang terus-menerus mencoba merebut tahta.

Read More

Umroh akhir tahun

Pada tahun pertama, Duryodana melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut kekuasaan dari Durmasena. Namun, meskipun dengan segala tipu daya dan muslihatnya, ia tetap kalah. Durmasena, dengan cerdik dan kekuatannya yang luar biasa, berhasil mempertahankan tahta.

Baca Juga: 16 Tahun LPSK: Memperjuangkan Keadilan yang Inklusif dan Berkeadilan di Tengah Tantangan Hukum

Tahun kedua, Duryodana kembali mengumpulkan pasukan dan sekutunya, lalu menantang Durmasena sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama: Duryodana terpaksa menelan kekalahan pahit untuk kedua kalinya. Durmasena kembali berdiri tegak sebagai pemimpin yang tak terkalahkan.

Namun, pada tahun ketiga, Duryodana melakukan langkah yang tak terduga. Ia menggandeng putra Durmasena yang masih muda, yaitu Ashwatthama, untuk menjadi pendampingnya dalam merebut tahta. Dengan dukungan dari dalam, akhirnya Duryodana berhasil merebut singgasana yang selama ini diimpikannya.

Tapi kemenangan ini tidaklah sejati. Semua orang tahu, kemenangan Duryodana hanya mungkin karena dukungan dari Ashwatthama, putra Durmasena. Tanpa keberadaan Ashwatthama, Duryodana pasti akan kalah untuk ketiga kalinya. Oleh karena itu, meskipun secara resmi Duryodana memegang kendali, secara substansial kemenangan ini tetap milik Durmasena.

Baca Juga: Menyelamatkan Warisan Budaya: Sawah dan Tradisi Wiwitan dalam Kepungan Modernitas Kota Jogja

Duryodana tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang Durmasena. Meskipun duduk di singgasana, Duryodana tahu bahwa kekuasaannya hanyalah ilusi, terikat erat oleh pengaruh Durmasena. Rasa ketidakpuasan terus menghantui Duryodana, karena ia tahu bahwa kemenangannya dibangun di atas kecurangan dan manipulasi yang diatur oleh kerajaan superjahat tersebut.

Tak heran, seorang penasihat terkuat dari Durmasena, Kertawira, berani memberikan ultimatum kepada Duryodana untuk tidak menempatkan para pengkhianat di posisi penting dalam istana. Kertawira tahu bahwa kendali sejati tetap berada di tangan Durmasena, bukan di tangan Duryodana yang kini hanya menjadi boneka.

Baca Juga: Merayakan Keagungan Ramayana, PJ Wali Kota Yogyakarta Resmikan Festival Tari

Duryodana tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati. Ia akan selalu menjadi pion yang dikendalikan oleh Durmasena dan Kertawira, yang diam-diam menjalankan agenda mereka di balik layar. Bagi Duryodana, menjadi raja hanyalah sebuah upaya untuk mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pemimpin, meskipun ia tahu bahwa kekuasaan sejati tak pernah benar-benar ia miliki.

Inilah cermin dari politik di negeri antah berantah tersebut: sebuah permainan tipu-menipu yang melibatkan para penguasa jahat, di mana rakyat hanyalah korban dari ambisi dan kebohongan para penguasa. Dalam permainan yang kejam ini, tak ada yang benar-benar menang, kecuali mereka yang sudah lama duduk di puncak kekuasaan, mengendalikan segalanya dengan tangan besi. []

*) Ketua Yayasan Petranas Daerah Istimewa Yogyakarta

Related posts