BacaJogja – Siapa yang masih ingat dengan kejadian Klitih Gedongkuning beberapa tahun silam? Kasus tersebut mengakibatkan seorang anak anggota DPRD tewas. Beberapa hari setelah kejadian, polisi menangkap terduga pelaku klitih di beberapa lokasi yang berbeda.
Keluarga yang tidak menerima anaknya ditangkap polisi kemudian menggelar aksi solidaritas bersama dengan aktivis. Namun berdasarkan keputusan pengadilan, para terduga pelaku akhirnya dijatuhkan hukuman penjara. Hingga kini, seluruh anggota keluarga yang tergabung dalam forum ‘Orang Tua Bergerak’ tetap menyuarakan hak-hak mereka.
Baca Juga: Kronologi Klitih Bumijo Yogyakarta, Polisi Tangkap 15 Pelaku
Siapa sangka, kejadian ini turut menjadi perhatian sineas muda. Berawal dari hanya sekadar tugas kuliah, Caca, 22 tahun, termotivasi untuk membuat film kejadian Klitih Gedongkuning ini.
Namun, untuk menghindari pro dan kontra, sudut pandang yang diambil tidak berfokus pada kasus hukum yang ada. Kasus Klitih Gedongkuning ini pun sudah dianggap inkrah sampai dengan adanya bukti baru.
Film berjudul Rindu & Pedih adalah sebuah film perjalanan dokumenter yang diproduksi Caca bersama kolega produksinya.
Film ini menceritakan kisah seorang ibu, Subadriyah, yang berlatar belakang seorang pendidik, dan anaknya bernama Hanif yang mendekam di Lapas Wirogunan, Yogyakarta. Dalam film ini dijelaskan bahwa Hanif merupakan korban salah tangkap. Setelah beberapa tahun mendekam di lapas, mereka harus menerima kenyataan yang ada.
Baca Juga: Klitih Beraksi di Yogyakarta, Korban Luka Parah di RSUP Sardjito
Setiap Selasa dan Kamis, Hanif dijenguk kedua orang tuanya secara rutin, tanpa terlewat satu hari pun. Film ini secara khusus mengambil sudut pandang seorang ibu yang memiliki kerinduan mendalam terhadap sang anak. Di saat anak-anak seusianya bisa menikmati pendidikan, Hanif masih berada di balik jeruji besi.
Usahanya tak sampai di situ; selama di penjara, ia bisa mengikuti perkuliahan secara daring di Universitas Siber Muhammadiyah Yogyakarta berkat usaha sang ibu.
Caca, selaku produser film ini, mengungkapkan alasan utama penciptaan film ini sebagai bentuk empati yang diberikan kepada para orang tua. “Di luar sana banyak orang tua yang masih bisa bertemu dengan anaknya, sementara Ibu Subadriyah dan orang tua lainnya sangat sulit,” ujarnya, pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Baca Juga: Klitih Mabuk Berulah di Sleman, Berujung Kecelakaan Tunggal
Film ini menjadi debut pertama Caca dalam memproduksi film dokumenter. Sebelumnya, Caca juga memproduksi film fiksi. Ada banyak kesulitan yang dirasakan dalam pembuatan film ini. “Perlu riset yang mendalam dan detail serta menyiapkan narasi dengan hati-hati, karena ini adalah film yang tensinya berpeluang menuai pro dan kontra,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa film ini bisa menjadi harapan baru bagi para orang tua untuk terus memperjuangkan hak dan usaha mereka. “Dampak sosial yang dihadapi para orang tua tentu saja ada, tapi perlahan mereka bisa menerima dan tetap bersosialisasi,” kata Caca.
Film dokumenter ini diproduksi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Total sekitar 6 bulan waktu yang dihabiskan mulai dari pra-produksi hingga pascaproduksi. Durasi film ini sekitar 13 menit. Selama film berlangsung, akan disajikan perjalanan orang tua Hanif dan perkembangan kasus Klitih hingga kini.
Baca Juga: Kronologi Aksi Klitih di Titik Nol Kilometer Yogyakarta
Film Rindu dan Pedih secara eksklusif juga ditayangkan perdana pada event Paradoks. Paradoks merupakan event screening yang telah terlaksana pada Juli 2024 lalu. Turut hadir para orang tua dan aktivis lainnya.
“Harapannya, film ini tidak hanya ditayangkan di sini saja, namun akan berkeliling di banyak festival lainnya,” ungkap Caca tentang harapan mengenai film ini. []