BacaJogja – Di tengah semarak perayaan Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo ke-73, sebuah pemandangan yang berbeda menghiasi Alun-Alun Wates pada Minggu, 20 Oktober 2024. Lebih dari seribu pemanah tradisional berkumpul dari berbagai penjuru Indonesia untuk berpartisipasi dalam Gladhen Hageng Jemparingan Tingkat Nasional, sebuah ajang bergengsi yang kini menjadi ikon budaya di Kulon Progo. Acara ini tak hanya meriah, tetapi juga penuh makna, merayakan kekayaan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan jumlah peserta mencapai 1.250 orang, Gladhen Hageng Jemparingan tahun ini menjadi yang terbesar sepanjang penyelenggaraannya. Lebih istimewa lagi, mayoritas peserta adalah anak-anak muda. Kirab peserta yang terdiri dari 60 kontingen jemparingan mengawali acara, memperlihatkan kebanggaan akan warisan leluhur yang tetap hidup di era modern.
Baca Juga: Pengajian Akbar SMA Muhi Yogyakarta: Hadiah Umrah dari Rektor UMY untuk Guru Berprestasi
Joko Mursito, Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo sekaligus Sekretaris Jemparingan Bandul Nusantara, menyampaikan kebanggaannya terhadap antusiasme generasi muda dalam ajang ini. “Kehadiran peserta muda menunjukkan bahwa jemparingan bukan sekadar olahraga tradisional, tetapi juga media silaturahmi dan pelestarian budaya,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa acara ini bukan hanya tentang mencari pemenang, tetapi juga sebagai ruang bagi para penggiat jemparingan untuk berkumpul dan menjaga warisan leluhur.
Namun, lebih dari sekadar ajang kompetisi, jemparingan memiliki filosofi yang dalam. Bukan hanya soal ketangkasan memanah, tetapi juga tentang pengendalian diri dan ketenangan batin—nilai-nilai yang tetap relevan meski dunia semakin modern. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo berupaya mendekatkan tradisi ini kepada generasi muda.
Baca Juga: Kronologi dan Motif Penganiayaan Remaja hingga Meninggal di Bantul, 11 Orang Ditangkap
Penjabat (Pj) Bupati Kulon Progo, Ir. Srie Nurkyatsiwi, MMA, mengungkapkan komitmennya untuk menjadikan jemparingan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan karakter di sekolah-sekolah, guna memastikan tradisi ini terus bertahan. “Kami ingin generasi muda tidak hanya larut dalam kemajuan teknologi, tetapi juga memahami dan mencintai budaya leluhur,” kata Siwi.
Bagi sebagian orang, kemajuan teknologi sering kali dianggap menggeser tradisi. Namun, acara Gladhen Hageng Jemparingan membuktikan bahwa budaya dan tradisi bisa tetap bertahan dan bahkan berkembang.
Aris Eko Nugroho, Paniradya Pati Kaistimewan, melihat potensi besar dalam jemparingan untuk menjadi ikon tahunan Kulon Progo. “Kami berharap acara ini bisa terus tumbuh dan melibatkan lebih banyak komunitas, serta mendukung perekonomian lokal melalui kolaborasi dengan UMKM dan perajin,” ujarnya.
Baca Juga: Dari Masjid Jogokariyan, Warga Yogyakarta Deklarasi Perangi Peredaran Miras
Acara ini tidak hanya menegaskan komitmen Kulon Progo dalam melestarikan budaya, tetapi juga memberikan harapan bahwa tradisi seperti jemparingan bisa menjadi bagian penting dari pengembangan pariwisata daerah. Dengan memadukan kekayaan budaya dan modernitas, Gladhen Hageng Jemparingan berhasil menarik perhatian generasi muda yang siap mewarisi tradisi ini.
Di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, jemparingan tetap menjadi lambang ketenangan, pengendalian diri, dan kecintaan pada budaya. Gladhen Hageng Jemparingan 2024 bukan hanya perayaan, tetapi juga pengingat bahwa tradisi memiliki tempat yang istimewa di hati setiap generasi. []