Beranikah Prabowo Hadang Kenaikan PPN 12 Persen? Ini Dampak Sosial-Ekonominya

  • Whatsapp
Sarmidi spd
Sarmidi, Ketua FTA Yogyakarta (Istimewa)

BacaJogja – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tengah memicu kontroversi. Kebijakan ini, yang diklaim sebagai amanat undang-undang, justru menuai kritik karena dinilai tidak mempertimbangkan situasi sosial-ekonomi masyarakat saat ini.

Ketua Forum Tanah Air (FTA) Yogyakarta, Sarmidi, memberikan pandangan tajam terhadap kebijakan tersebut. “Kami mengapresiasi komitmen pemerintah dalam menjalankan undang-undang, tetapi kebijakan seperti ini seharusnya mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dan situasi ekonomi yang ada,” ujarnya, Minggu (29/12/2024).

Read More

Baca Juga: Heboh! Pria Asal Sleman Pamer Alat Kelamin di Malioboro

Kritik atas Kebijakan yang Dinilai Membebani Rakyat

Sarmidi menyoroti bahwa kenaikan PPN ini, secara tidak langsung, mendepresiasi pendapatan masyarakat hingga 15 persen. Akibatnya, daya beli menurun, harga barang meningkat, dan barang serta jasa menjadi sulit terjangkau. “Ini seperti langkah mundur dari kebijakan pro-rakyat yang sebelumnya diambil pemerintah,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa masyarakat masih lelah menghadapi dinamika politik seperti pemilu serentak dan baru mulai menikmati stabilitas dari kebijakan pemberantasan korupsi serta pidato-pidato pemimpin yang membangkitkan harapan.

Baca Juga: Yogyakarta Menyala! Daftar Lengkap Pesta Kembang Api saat Malam Tahun Baru

Dampak Sosial-Ekonomi yang Dikhawatirkan

Sarmidi menguraikan tiga dampak besar dari kebijakan kenaikan PPN ini:

  1. Lesunya Pariwisata
    Dengan penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan pokok, sektor pariwisata terancam sepi. Imbasnya dirasakan oleh sektor transportasi, kuliner, perhotelan, hingga produsen suvenir.
  2. Kebangkrutan Industri
    Penurunan daya beli akan membuat pasar bagi produk industri menyusut. Akibatnya, pabrik-pabrik kehilangan pasar dan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
  3. Lonjakan Kemiskinan
    PHK massal berpotensi meningkatkan ketergantungan pada bantuan sosial dan menciptakan pola “pemeliharaan kemiskinan.” Menurut Sarmidi, ini melemahkan kelas menengah—pilar ekonomi sekaligus kelompok kritis terhadap kebijakan yang tidak adil.

Baca Juga: Liburan Aman di Yogyakarta: Semua Layanan Darurat Kini Terintegrasi di Aplikasi Jogja Smart Service

Janji Prabowo dan Harapan Publik

Sarmidi juga mengingatkan publik akan pidato pelantikan Prabowo Subianto yang sarat janji besar untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, ia mempertanyakan apakah Prabowo berani menantang kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini.

“Publik menantikan tindakan nyata. Jika Prabowo tidak bertindak, maka ini menjadi pertanyaan besar tentang komitmennya untuk melindungi rakyat,” ujar Sarmidi.

Dengan dampak sosial-ekonomi yang begitu besar, kebijakan ini membutuhkan pertimbangan ulang. Apakah pemerintah akan mengutamakan kepentingan rakyat atau memilih melanjutkan kebijakan yang dinilai memberatkan? Waktunya Prabowo menjawab tantangan ini. []

Related posts