BacaJogja – Di salah satu sudut wilayah sisi selatan Bumi Projotamansari, tepatnya di Kalurahan Gadingsari, ada sebuah cerita menarik tentang upaya pelestarian budaya yang dituangkan dalam dua jenis batik khas. Batik Kuda Sembrani dan Batik Samudera, meskipun mungkin belum banyak dikenal, menyimpan kekayaan filosofi yang erat dengan budaya lokal dan alam sekitar.
Gadis-gadis dan ibu-ibu di kawasan ini tak hanya mewarisi tradisi membatik, tetapi juga menjaga akar cerita yang sudah ada sejak nenek moyang.
Salah satu pengrajin batik Kuda Sembrani, Sukirah, dengan bangga menceritakan kisah asal-usul batik yang ia buat. Batik ini terinspirasi oleh salah satu kesenian tradisional Jathilan, khususnya Jathilan Jaran Sembrani yang sudah lama lestari di Dusun Kleyodan, Gadingsari, Sanden, Bantul.
Baca Juga: Harga Cabai di Yogyakarta Tembus Rp 100.000 per Kg: Ternyata Ini Penyebabnya!
Motif Jaran Sembrani ini menggambarkan seekor kuda mitologi yang dapat terbang, simbol keberanian yang juga ditemukan dalam cerita pewayangan sebagai tunggangan Batara Wisnu.
“Proses pembuatan Batik Kuda Sembrani sangat rumit. Motif Kuda Sembrani itu hanya ada di sini, dan membutuhkan waktu hingga tiga hari untuk menyelesaikan satu kain,” ujar Sukirah dengan antusias, saat ditemui oleh Tim Jelajah Kriya dan Dekranasda Kabupaten Bantul.
Batik ini pertama kali berkembang berkat pelatihan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang memberikan keterampilan serta alat membatik kepada para pengrajin lokal. Pemasaran batik ini pun dilakukan dengan semangat gotong-royong melalui komunitas-komunitas dan media sosial.
Baca Juga: Waspada Gelombang Tinggi di Pantai Selatan DIY: Wisatawan Diminta Hati-hati
Sementara itu, Sumiati, seorang pengrajin Batik Samudera, menceritakan inspirasi di balik batik yang dihasilkannya. Berbeda dengan Batik Kuda Sembrani yang mengangkat cerita mitologi, Batik Samudera lebih terinspirasi dari alam sekitar, terutama keindahan laut yang begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Gadingsari.
“Awalnya, suami saya dan saya bekerja di butik. Namun, karena kami tinggal dekat dengan laut, kami terinspirasi untuk membuat motif yang menggambarkan keindahan samudra—seperti ombak, kapal, dan ikan,” ungkap Sumiati.
Perjalanan kedua jenis batik ini mulai menunjukkan perkembangan positif. Kendati masih terbilang baru, omzet bulanan Batik Kuda Sembrani dan Batik Samudera sudah mencapai angka yang mengesankan, sekitar lima hingga enam juta rupiah.
Namun, tak jarang mereka menghadapi tantangan, terutama terkait cuaca. Pada musim hujan, proses pewarnaan batik bisa terhambat karena tempat yang harus tetap kering untuk menjaga kualitas warna.
Baca Juga: Peran Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Uji Materi Presidential Threshold di MK
Harga batik yang dihasilkan bervariasi, bergantung pada tingkat kerumitan motif dan bahan yang digunakan. Batik dengan pewarnaan empat kali lebih mahal dibandingkan batik dengan desain yang lebih sederhana, yang dijual dengan harga terjangkau, mulai dari 50 ribu hingga 400 ribu rupiah.
Dengan penuh semangat, Sukirah dan Sumiati berharap batik Kuda Sembrani dan Batik Samudera bisa dikenal lebih luas, menjadi simbol kekuatan budaya Gadingsari, serta menjembatani warisan nenek moyang dengan generasi muda yang terus melestarikannya.
Bagi masyarakat di sini, batik bukan sekadar produk seni, tetapi juga refleksi dari kearifan lokal yang tak ternilai harganya, sebuah warisan budaya yang terus hidup di tengah zaman. []