Perjanjian Giyanti: Mataram Islam, Ambisi, Adu Domba, dan Lahirnya Yogyakarta

  • Whatsapp
Perjanjian Giyanti
Monumen Perjanjian Giyanti. (Pemkot Jogja)

BacaJogja – Pada 13 Februari 1755, sejarah Jawa memasuki babak baru yang penuh kegetiran. Perjanjian Giyanti membelah Mataram menjadi dua, melahirkan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwana III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Sultan Hamengkubuwana I. Peristiwa ini bukan hanya soal pembagian wilayah, tetapi juga strategi Belanda dalam memperkuat kendali atas tanah Jawa.

Perpecahan Mataram: Luka bagi Rakyat Jawa

Bagi masyarakat Jawa, perpecahan ini membawa kesedihan mendalam. Keluarga yang dulu hidup dalam satu kerajaan kini terpisah. Di Kotagede, yang pernah menjadi pusat Mataram, ada keluarga yang terpaksa hidup di dua wilayah berbeda—ayah di Yogyakarta, anak di Surakarta. Mataram tak hanya terbelah secara geografis, tetapi juga secara emosional.

Read More

Namun, di balik penderitaan rakyat, Belanda justru diuntungkan. Dengan diresmikannya Perjanjian Giyanti, kekuasaan mereka semakin kuat. Selama hampir dua abad setelahnya, kendali Belanda atas Jawa semakin tak tergoyahkan.

Baca Juga: Operasi Keselamatan Progo 2025: Polisi Bertugas dengan Niat Ibadah

Awal Konflik: Perebutan Takhta Mataram

Kisah perpecahan ini bermula dari konflik internal keluarga Mataram. Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said terlibat dalam perebutan kekuasaan. Raden Mas Said, yang merasa sebagai pewaris sah karena merupakan cucu Amangkurat IV, menentang kepemimpinan pamannya, Pakubuwana II.

Sementara itu, Pangeran Mangkubumi juga tidak tinggal diam. Ia sempat meminta dukungan VOC agar diangkat sebagai raja, tetapi ditolak. Merasa kecewa, ia akhirnya bergabung dengan Raden Mas Said untuk melawan Pakubuwana II dan Belanda.

Mereka mengobarkan perang gerilya dari wilayah barat Surakarta. Bahkan, Mangkubumi menikahkan putrinya, Ayu Inten, dengan Raden Mas Said sebagai bentuk aliansi politik. Perlawanan ini membuat Surakarta kewalahan, terutama setelah Pakubuwana II jatuh sakit dan meninggal pada 20 Desember 1749.

Baca Juga: Bansos PKH 2025: Jadwal Pencairan, Besaran Dana, dan Cara Cek Penerima

Namun, sebelum wafat, Pakubuwana II menandatangani perjanjian dengan Belanda yang memberikan VOC hak penuh untuk menentukan penerus takhta Mataram. Hasilnya, Belanda menunjuk putranya, Raden Suryadi, sebagai Pakubuwana III.

Belanda Memainkan Politik Adu Domba

Ketika Mangkubumi dan Raden Mas Said hampir merebut Surakarta, Belanda menerapkan strategi divide et impera. Mereka membujuk Raden Mas Said agar berpisah dari Mangkubumi, sementara Mangkubumi ditawari separuh wilayah Mataram dengan syarat menghentikan perlawanan.

Perundingan pertama berlangsung pada 22 September 1754, yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Isi perjanjian ini tidak hanya membagi wilayah, tetapi juga membatasi kewenangan Mangkubumi. Belanda tetap menjadi penguasa sejati di balik layar.

Isi Perjanjian Giyanti: Keuntungan Besar bagi Belanda

Perjanjian Giyanti mengatur beberapa poin penting yang menguntungkan VOC:

  1. Mangkubumi mendapatkan separuh Mataram, tetapi tidak boleh mengangkat atau memecat bupati tanpa persetujuan Belanda.
  2. Mataram dilarang mengklaim Madura dan wilayah pesisir, yang sudah jatuh ke tangan Belanda.
  3. Belanda diberikan hak monopoli perdagangan, di mana Sultan hanya boleh menjual bahan pangan kepada VOC dengan harga yang telah disepakati.
  4. Sultan harus patuh pada seluruh perjanjian yang pernah dibuat Mataram dengan Belanda.

Dengan perjanjian ini, lahirlah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana I. Sementara itu, Pakubuwana III tetap menguasai Surakarta. Impian Mataram sebagai kerajaan besar seperti Majapahit pun sirna.

Baca Juga: Jembatan Srandakan Lama Akhirnya Ambruk di Malam Jumat Kliwon

Perpecahan Berlanjut: Lahirnya Mangkunegaran dan Pakualaman

Sejarah perpecahan Jawa tidak berhenti di sini. Raden Mas Said akhirnya mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta setelah diberi izin oleh Belanda. Di sisi lain, Kasultanan Yogyakarta kembali terpecah ketika Pangeran Natakusuma, putra Hamengkubuwana I, mendapatkan wilayah sendiri dan membentuk Kadipaten Pakualaman.

Sejak saat itu, tanah Jawa tidak pernah bersatu kembali. Perjanjian Giyanti bukan hanya membelah Mataram, tetapi juga meninggalkan warisan perpecahan yang masih terasa hingga kini.

Kesimpulan

Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya era kejayaan Mataram Islam dan mengukuhkan cengkeraman Belanda di tanah Jawa. Konflik internal yang dipicu oleh ambisi kekuasaan berhasil dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu domba para pewaris Mataram. Akibatnya, tanah Jawa yang pernah bercita-cita menjadi kerajaan besar justru terpecah belah, dan Belanda tetap menjadi penguasa sesungguhnya di balik layar. []

Sc: wikipedia, kundha kabudayan jogja, dll

Related posts