BacaJogja – Di balik gemerlap pariwisata Yogyakarta, Bantul kembali menegaskan dirinya sebagai tanah para pengrajin ulung. Untuk ketiga kalinya, kabupaten ini menerima Sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kali ini untuk Wayang Kulit Tatah Sungging—warisan budaya yang telah mengakar kuat di tanah Imogiri.
Sebelumnya, Bantul juga telah mendapatkan sertifikat serupa untuk Batik Nitik dan Gerabah Kasongan, dua ikon kriya yang telah dikenal luas hingga mancanegara. Penghargaan terbaru ini kian memperkuat posisi Bantul sebagai kabupaten kreatif sektor kriya, seperti yang ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Ini ketiga kalinya Bantul mendapat Sertifikat Indikasi Geografis. Artinya, potensi kriya di Bantul itu luar biasa,”
ujar Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, saat penyerahan sertifikat di Ruang Kerja Bupati, Selasa (4/10/2025).
Proses Panjang Menuju Pengakuan Nasional
Sertifikat IG tidak datang begitu saja. Kepala Kanwil Kemenkumham DIY, Agung Rektono Seto, mengungkapkan bahwa proses pengajuan hingga penetapan Wayang Kulit Tatah Sungging Bantul memakan waktu hampir satu tahun, disertai serangkaian uji kelayakan.
“Kelayakannya dilihat dari banyak sektor. Apakah benar wayang kulit tatah sungging itu asli Bantul, dan bagaimana reputasi serta karakteristik khasnya,” jelas Agung.
Sertifikat IG, lanjutnya, berfungsi untuk melindungi produk yang memiliki kualitas, reputasi, dan karakteristik khas dari suatu wilayah geografis, sehingga tidak mudah diklaim atau ditiru oleh pihak lain.
Jejak Panjang dari Pucung, Wukirsari
Bila menyusuri sejarahnya, akar wayang kulit tatah sungging tumbuh kuat di Dusun Pucung, Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri. Di sinilah jejak awal seni kriya itu bermula dari tangan seorang abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mbah Glemboh.
Baca Juga: DIY Resmi Punya Embarkasi Haji 2026 di Yogyakarta International Airport
Dikisahkan, Mbah Glemboh yang kala itu dipercaya mengurusi wayang di Keraton memiliki ketertarikan mendalam terhadap dunia pedalangan. Ia bahkan meminta izin kepada Sultan Hamengku Buwono VII untuk membuat wayang sendiri. Setelah izin diberikan, Mbah Glemboh mulai membuat wayang di rumahnya, dan keahliannya menular ke warga sekitar.
Dari tangan-tangan mereka, lahirlah tradisi panjang pengrajin wayang kulit tatah sungging di Pucung yang kemudian berkembang pesat. Menurut catatan, sebelum krisis moneter 1998, jumlah pengrajin mencapai 1.300 orang. Kini, jumlahnya menyusut menjadi sekitar 300 pengrajin aktif.
“Sebelum tahun 1998, ada sekitar 1.300 pengrajin. Sekarang tinggal 300-an saja,”
ungkap Suyono, salah satu pengrajin senior di Pucung.
Pasar Dunia dan Inovasi Pengrajin
Kendati jumlah pengrajin menurun, pasar wayang kulit tatah sungging justru terus berkembang. Menurut Suyono, 60% pangsa pasarnya kini berasal dari luar negeri, antara lain Jepang, Prancis, Australia, dan negara-negara lainnya. Sementara untuk pasar dalam negeri, pesanan banyak datang dari Jakarta, Batam, Medan, Bali, Bandung, dan Yogyakarta.
Baca Juga: Sri Sultan HB X Takziah ke Keraton Surakarta, Sampaikan Duka atas Wafatnya Paku Buwono XIII
Para pengrajin kini juga giat berinovasi. Mereka tak hanya membuat wayang untuk pertunjukan, tetapi juga mengadaptasi desainnya ke dalam produk dekoratif, suvenir, dan karya kontemporer agar sesuai dengan selera pasar global.
“Kami terus berinovasi mengikuti selera pasar. Wayang kulit tidak hanya untuk dimainkan, tapi juga bisa menjadi karya seni yang hidup di ruang modern,” tutur Suyono.
Pengakuan dari Kemenkumham ini bukan sekadar sertifikat. Lebih dari itu, ia menjadi penegasan terhadap eksistensi dan nilai budaya wayang kulit tatah sungging sebagai warisan tak benda yang lahir dari tanah Bantul. Di tengah tantangan zaman, semangat para pengrajin untuk menjaga tradisi tetap menyala, mengukir kisah baru dari setiap tatahan kulit yang mereka buat.






