BacaJogja – Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo ke-55 sudah dimulai. Upacara pembukaan salah satu warisan budaya di Yogyakarta ini digelar di Halaman Masjid Ki Ageng Wonolelo, Pondok Wonolelo, Widodomartani, Kapanewon Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Event tradisi budaya ini digelar selama 14 hari, terhitung mulai 26 Agustus hingga 10 September 2022. Agenda setiap hari berupa pengajian, pentas seni dan budaya secara bergantian meliputi Festival Apem, pentas Jathilan, kethoprak, macapat, kesenian kreasi anak, kesenian religius Badui dan Hadroh, karawitan hingga band dan dangndut.
Baca Juga: Kirab Budaya Padukuhan Ambarrukmo, Melestarikan Budaya Keraton Yogyakarta
Tidak ketinggalan tentunya pasar malam. Ada banyak stand kuliner, kerajian, mainan anak hingga rekreasi wahana bermain.
Puncak acara digelar pada Jumat 9 September 2022. Ada tujuh kegiatan pada puncak acara tersebut, yakni pentas seni Jathilan, tari-tari dan fragmen, kirab pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo, kirab bregada, kirab gunungan apem, penyebaran apem dan karawitan.
Baca Juga: Makna Tradisi Labuhan Pakualaman 10 Muharram di Pantai Glagah Kulon Progo
Untuk lebih detail jadwal rangkaian acara Saparan Ki Ageng Wonolelo silakan lihat grafis di bawah ini:
Awal Mula Penyebaran Apem dan Sosok Ki Ageng Wonolelo
Ki Ageng Wonolelo atau yang dikenal dengan Syeh Jumadigeno merupakan ulama besar. Menunaikan ibadah haji pada tahun 1511 (tahun jawa). Berawal dari kurangnya oleh-oleh roti gimbal, Ki Ageng Wonolelo meminta kepada Nyai Ageng untuk membuat kue apem.
Apem itu kemudian dibagikan kepada santri dan tetangga yang meminta buah tangan dari Ki Ageng Wonolelo sepulang dari Tanah Arab. Tradisi pembagian atau penyebaran ini terus dilestarikan oleh warga Pondok Wonolelo setiap bulan sapar. Apem dibagi-bagikan kepada warga berziarah di Makam Ki Ageng Wonolelo.
Baca Juga: Tradisi Jenang Suran di Makam Raja-raja Mataram Kotagede Yogyakarta
Ki Ageng Wonolelo merupakan keturunan Prabu Brawijaya V yang sangat berjasa terhadap Kerajaan Mataram. Ki Ageng Wonolelo bisa memastikan Sriwijaya tetap bagian dari Mataram.
Pada saat itu, Ki Ageng Wonolelo diutus ke Sumatra untuk melihat Sriwijaya di Palembang yang kelihatanya akan melepaskan diri dari Mataram. “Beliau bisa memastikam Kerajaan Sriwijaya tetap berada di bawah Mataram,” kata GKR Hemas saat membuka acara Saparan Ki Ageng Wonolelo.
Baca Juga: Makna Tradisi Baritan Nguras Sendang Payungan di Pandak Bantul
Menurut dia, Ki Ageng Wonolelo juga memiliki ilmu kebatinan yang sangat tinggi. Demikian pula jasanya yang luar biasa, sehingga sampai saat ini masih tetap diperingati jasa dan perjuangannya.
Untuk memperingatinya dengan melakukan kirab pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo, seperti Alquran, Baju Ontokesumo, kopyah dan tongkat potongan kayu mustaka masjid dan segala jenis rerangkaianya.
Saparan Ki Ageng Wonolelo Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Permaisuri Keraton Yogyakarta ini mengungkapkan, tradisi Islam di Yogyakarta sudah ada sejak zaman dulu. Ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna. “sesungguhnya warisan tradisi agama Islam di Yogyakarta sudah sempurna untuk masyarakat dan budaya Ngayogyakarto Hadiningrat,” ujar GKR Hemas.
Baca Juga: Nyadran Ziarah Seniman dan Budayawan se-Indonesia di Imogiri Bantul
Sekretaris Dinas Cahyo Widayat menyatakan, upacara adat tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda sejak 2018. Upacara Adat Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo merupakan niti laku Ki Ageng Wonolelo dalam menyebarkan ajaran luhur dan keutamaan.
Saparan Ki Ageng Wonolelo ke depan harus diupayakan lebih baik dan tertata sehingga mampu memberikan nilai lebih bagi masyarakat. Nilai lebih yang diharapkan adalah peningkatan nilai keimanan serta peran pemberdayaan ekonomi khususnya UMKM, semangat gotong royong dan kesejahteraan masyarakat juga meningkat.[]