BacaJogja – Guru Besar Universitas Paramadina Prof Didin S menilai bantuan sosial (banoso) saay ini sudah sangat jelas digunakan sebagai alat politik. Salah satu indikasi adalah penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun, terbesar selama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.
Menurut dia, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat. “Nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang pemilu 2024,” katanya dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?” pada Rabu, 7 Februari 2024.
Baca Juga: Pemkab Sleman Launching Bansos Bedah Warung Kelontong Agar Naik Kelas
Prof Didin mengungkapkan, indikasi lainnya bansos dibagikan oleh Jokowi sendiri bukan melalui Kementerian Sosial, bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos tersebut dibagikan. “Hal tersebut memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan pemilu. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 03 menang maka bansos tidak lagi dibagikan,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan, dalam 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang dalam fase neo-otoritarianisme. “Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat,” tuturnya.
Menurut dia, gejala lainnya dengan memasukkan Gibran Rakabuming putra Jokowi melalui MK, dengan memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres 02. Setelah itu muncul bansos dijadikan alat politik untuk memenangkan kekuasaan dalam Pilpres 2024.
Baca Juga: Anda Merasa Berhak, tapi Tak Dapat Bansos? Ini Cara Mengadu!
“Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala Otorianisme Baru. Jadi, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian,” jelasnya
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Dr. Elan Satriawan melihat bansos saat ini sudah menjadi alat tujuan utama dari politik. Bansos juga dikategorikan sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan, faktanya hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bansos seringkali dijadikan sebagai strategi tetapi juga sangat rentan terhadap upaya-upaya politisasi.
Dia mengatakan, hal yang harus dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan bukan hanya bansos saja yang seolah menjadi satu-satunya jalan, karena jelas tidak akan cukup. “Harus ada program afirmasi yang dapat menghilangkan/mengatasi kendala-kendala yang membuat kelompok bawah/miskin, bisa relatif setara dengan rakyat yang lain,” kata Elan.
Baca Juga: Warga Tak Dapat Bansos PKH dan BST, Terima Bantuan Rp200 Ribu per Bulan
Elan memandang harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi agar kesejahteraan mereka tidak jatuh. Khususnya dalam situasi krisis, contohnya ada peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, dan lainnya. Krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu.
“Sayangnya program-program seperti UMKM, inklusifitas dan lain sebagainya tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Sejauh ini, yang dikenal masyarakat mengenai penanggulangan kemiskinan hanya Bansos,” papar Elan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dr. Ninasapti Triaswati menilai tujuan bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan. “Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan,” kata Nina.
Baca Juga: Waspada, Marak Tipu Gendam Berkedok Bansos Covid-19 di Gunungkidul
“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp 476 T. Yang menjadi masalah bukan sekedar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok,” lanjut Nina.
Pada 2013 ke 2014 bansos yang digelontorkan sekitar Rp 398 T, di akhir era SBY sebesar Rp 439 T, jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada lonjakan anggaran sekira Rp 40 T.
“Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp 498 T (Pandemi Covid). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp 397 T pada 2021. kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp 431 dan Rp 476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” jelas Nina. []