BacaJogja – Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengajak semua pihak untuk mengkaji kembali konsep kepemimpinan nasional pasca-Pemilu 2024.
Menurut dia, syarat untuk menjadi pemimpin nasional atau Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, terlalu longgar dan tidak mencakup aspek kualitatif. “Kriteria yang terlalu normatif dan administratif, tidak diperkuat dengan aspek kualitatif menyebabkan saringan begitu longgar,” katanya dalam acara Panel Forum Nasional: Pemikiran Kepemimpinan Indonesia yang digelar Forum 2045 di Yogyakarta, Sabtu, 16 Maret 2024.
“Nyaris setiap orang yang tamat SLTA dapat memasuki arena kontestasi pemilihan pimpinan tertinggi negara,” imbuhnya.
Baca Juga: Mengenang Sejarah Hari Lahir Daerah Istimewa Yogyakarta 13 Maret 1755
Mantan Menteri ESDM ini mengatakan, dengan syarat kepemimpinan yang terlalu longgar itu membuat siapa pun seolah diperbolehkan masuk ke arena kontestasi tanpa saringan yang ketat. Hal itu sangat ironis ketika untuk menjadi pemimpin perusahaan yang sifatnya mikro saja butuh berbagai persyaratan ketat.
Dia mengatakan, syarat di perusahaan saja, jadi CEO punya syarat ketat dan rumit. Itu sektor mikro satu institusi, sementara memimpin negara syarat masuknya sangat longgar. “Kalau standard dan pola rekrutmen pemimpin tertinggi saja sudah begitu, lantas bagaimana dengan yang lain?” katanya.
Baca Juga: Refleksi Kampanye Akbar 01: Keringat, Darah dan Air Mata Menatap Hari-hari ke Depan
Dia mengatakan, selain persyaratan yang terlalu longgar, mekanisme pemilu yang mensyaratkan kemenangan kandidat capres-cawapres hanya berdasarkan angka membuat kualitas demokrasi semakin buruk. “Di samping saringan yang terlalu longgar, cara memilih hanya berdasarkan angka, 50% plus 1, juga membuat siapa pun yang bisa ‘membeli’ pemilih dapat maju dalam kontestasi. İni yang menyebabkan pemilu hari ini disebut pemilu terburuk,” jelasnya.
Dia khawatir ketika syarat kepemimpinan tertinggi bangsa saja begitu longgar, akan berakibat pada degradasi kepemimpinan di lapis kepemimpinan berikutnya hingga ke bawah. “Maka tidak heran, pengingkaran pada etika, norma hingga ilmu pengetahuan menjadi wajar karena buruknya kualitas kepemimpinan kita,” kata Sudirman.
Baca Juga: Profesor dan Guru Besar Forum 2045 Menyerukan Tobat Etika dan Moral, Ini Isi Lengkapnya
Untuk itu, Sudirman mengajak para guru besar yang hadir dalam forum tersebut juga masyarakat untuk mengoreksi hal tersebut. Apalagi, kata Sudirman, sejarah membuktikan bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengoreksi kesalahan dalam kepemimpinan bangsa.
“Diperlukan upaya kolektif para cerdik pandai untuk merumuskan konsep Kepemimpinan publik ke depan, dan menyebarkannya dalam bentuk pendidikan publik,” pungkas Sudirman Said.
Selain Sudirman Said, pembicara lainnya juga hadir dalam acara tersebut, yaitu Prof. M. Baiquni, Guru Besar Geografi Regional Universitas Gadjah Mada (UGM); Prof. Armaidy Armawi, Guru Besar Fakultas Filsafat UGM; Prof. Heru Kurnianto, ,Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Prof. Ni’matul Huda, Guru Besar Hukum Tata Negara UII. []