Muhammadiyah Tak Akan Pecah Gegara Tambang

  • Whatsapp
ilustrasi pertambangan
Ilustrasi pertambangan (Istimewa)

Beberapa teman minta tanggapan saya atas polemik internal setelah Muhammadiyah menerima pemberian lahan tambang batubara dari Pemerintah. Di jagat media sosial ramai sekali: ada yang pro atau sebaliknya. Juga melibatkan tokoh elit Muhammadiyah sebagai rujukannya.

HM. Amien Rais, satu dari tokoh utama Muhammadiyah adalah pihak yang kontra. Sempat “marah” besar dengan mengandaikan Muhammadiyah telah menerima kail beracun.

Read More

Umroh liburan

Saya katakan, Muhammadiyah tidak akan pecah gegara tambang. Karena Matan dan Kepribadian Muhammadiyah telah mampu menjadi daya ikat yang kuat.

Riak-riak ketidaksetujuan itu akan berlangsung sebentar saja. Contohnya ada. Bahkan lebih berat lagi karena perselisihan di unsur Pimpinan Pusat (PP). Terjadi di zaman Orde Lama. Di Pemerintahan Soekarno.

Baca Juga: Agro Expo J-Tugu 2024: Destinasi Wajib untuk Penggemar Pertanian dan Perikanan!

Buya Hamka tidak setuju ketika Moelyadi Djojomartono menerima penunjukannya sebagai Menteri Sosial. Buya khawatir Muhammadiyah akan didikte oleh Istana sehingga tidak bebas. Tetapi Farid Ma’ruf mendukung. Tentu perbedaan di tingkat PP berimplikasi pada level di bawahnya.

Namun ketika ada event khusus, setelah saling tukar pendapat, perbedaan itu selesai. Jadi tidak sampai pecah. Hal yang sama akan terjadi. Jadi Muhammadiyah tetap kokoh sebagai organisasi.

Saya justru ingin mencoba merasionalisasi pendapat-pendapat abstraksi yang berkembang saat ini dan sering tidak rasional. Bahwa banyak manfaatnya ketika Muhammadiyah menerima tawaran Pemerintah dalam mengelola tambang batubara.

Sebelumnya Nahdlatul Ulama (NU) lebih dulu menerima IUPK (ijin usaha pertambangan khusus) dari Menteri Bahlil Lahadalia. Lokasinya bekas tambang Kaltim Prima Coal (PKC) Kalimantan Timur. Tentu ini lokasi bagus dengan kualitas batubara kalori tinggi.

Baca Juga: Musywil MES DIY Digelar Sabtu, Masih Sulit Mencari Ketua Baru

Menteri Bahlil berjanji memberikan lokasi terbaik untuk Muhammadiyah. Mungkin – (ini mungkin karena belum diputuskan)- di bekas tambang PT Arutmin Indonesia.

Saya tidak tahu. Apakah ini kebetulan atau tidak. Kedua perusahaan yang perjanjian karyanya tidak diperpanjang oleh Pemerintah tersebut adalah anak usaha Bumi Resources, Group Perusahaan Bakrie. Sembilan tahun saya pernah bekerja di sana. Di kantor pusat. Bukan di tambang.

Cadangan batubara bekas lahan Arutmin tersebut, merujuk dari data Joint Ore Reserves Committee (JORC) mencapai 213 juta ton. Dan, memiliki sumber daya sebesar 1,66 miliar ton.

Masih ada empat alternative lokasi lainnya yang cadangan batubaranya melimpah. Ini berarti janji Menteri Bahlil benar.

Baca Juga: Mengintip Lensa Gen Z, Pameran dan Workshop Fotografi Kampus UMKLA Buka Jendela Kreativitas

Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah memang tidak di-design untuk menambang. Tetapi mereka akan mampu menggerakkan sumber daya institusionalnya untuk membentuk semacam partnership vehicle company (PVC). Dari PVC itu akan dibentuk Chief Executive Committee (CEC) yang membawahi Operation Director dan level di bawahnya sebagai operator tambang.

Di PVC inilah para profesional tambang akan bekerja. Mereka akan mencari partner Investor, Kontraktor tambang, Vendor, Supplier, dan sebagainya. Jadi Muhammadiyah bertindak sebagai Pemilik tambang, yang memperkerjakan para profesional tambang.

Hal ini harus dipahami dulu supaya clear. Karena selama ini banyak orang berpandangan rancu. Itu yang pertama, yang menyangkut pola organisasi kerja.

Jadi persepsi bahwa tambang akan dikapling-kapling untuk dibagikan ke umat, itu tidak mungkin. Susah melaksanakannya. Salah besar dan sangat berbahaya: baik menyangkut finansial, keamanan, maupun lingkungan.

Baca Juga: Jogja International Kite Festival 2024, Layangan Menghiasi Langit Parangkusumo Akhir Pekan Ini

Yang kedua, ada anggapan berlebihan. Tentu ini dari mereka yang pro-tambang: bahwa ketika Muhammadiyah, dan organisasi keagamaan lainnya diberi kuasa menambang, maka tidak akan terjadi kerusakan lingkungan. Ini persepsi berlebihan.

Kegiatan penambangan pada tambang apapun, dan oleh siapapun, tetap menyebabkan lingkungan akan rusak. Itu pasti.

Proses penambangan dimulai dari pembukaan lahan (land clearing), soil disposal, overburden removal, pengangkutan batubara ke stockpile, pengangkukan dari stockpile ke port/jetty. Semuanya berpotensi merusak lingkungan. Yang paling penting adalah upaya meminimalkan kerusakan dengan rehabilitasi dan reklamasi (spreading) secara maksimal.

Rehabilitasi adalah cost centre. Pusat biaya yang besar. Penambang akan untung besar jika tidak ada pekerjaan rehabilitasi. Ini penyakitnya selama ini, sehingga menyebabkan lingkungan rusak parah.

Baca Juga: SDN Ungaran 1 B dan SDN 2 Wonoharjo B Juara MilkLife Soccer Challenge Yogyakarta Series 1 2024

Oleh sebab itu, hal ini yang akan menjadi pusat perhatian Muhammadiyah. Perbaikan lahan dilakukan semaksimal mungkin dengan harapan kerusakan lingkungan dapat ditekan se-minimal mungkin. Ini menyangkut penerapan fiqih lingkungan.

Yang ketiga issue tentang keuntungan. Ada juga banyak anggapan bahwa Muhammadiyah tidak perlu untung. Muhammadiyah sudah kaya. Ini juga anggapan yang keliru. Tidak relevan.

Kegiatan penambangan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan finansial. Financial structure, cashflow, Return of Investment, income statement, harus dihitung secara cermat. Hal ini berkaitan dengan sikap profesionalisme. Kalau nggak untung berarti tidak profesional.

Baca Juga: Tujuh Alasan Muhammadiyah Siap Mengelola Tambang

Perlu diingat, para pekerja tambang, mempunyai rate pendapatan sama dengan pekerja offshore di laut. Atau dua kali lipat dari pekerja lainnya.

Satu hari berhenti beroperasi atas tambang besar, rugi bisa miliaran rupiah. karena itu, tambang mempunyai high security procedure, baik untuk manusia atau alat-alat tambang. Prosedur ini memerlukan biaya cukup besar.

Isu keempat berkaitan dengan ketiga tadi. Yakni: Muhammadiyah akan memperkuat ekonomi umat dengan membagi lokasi tambang. Seperti penjelasan di atas, tidak mungkin lokasi tambang ini dikapling-kapling dan didistribusikan ke umat. Ini berbahaya sekali.

Yang benar adalah memperbesar CSR (Corporate Social Responsibility) dengan memperdayakan umat sekitar dan lainnya. CSR adalah bagian dari biaya produksi (COGS), jumlahnya harus terukur supaya kesehatan keuangan perusahaan terjaga dengan baik. Prudent dan accountable.

Baca Juga: Ratusan Rektor dan Pakar Bahas Strategi Kampus Menghadapi Revolusi Pendidikan untuk Gen Z

Penambahan CSR bisa dilakukan dengan memotong keuntungan bersih setelah dipotong pajak (EAT) atas porsi Muhammadiyah. Sehingga tidak mengganggu margin perusahaan.

Dana CSR itu bisa untuk mengangkat ekonomi umat di sekitar tambang. Misalnya memberikan modal usaha katering pekerja tambang, membuat rumah kontrak pekerja, Supplier barang-barang yang dibutuhkan tambang, dan sebagainya.

Tantangan Bisnis Batubara

Lebih dari 110 Negara berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih (zero emission) pada tahun 2050. Indonesia dan Tiongkok yang mempunyai PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap/Batubara) paling besar berjanji pada tahun 2060.

Untuk mencapai target Pemerintah tersebut, PLN telah memastikan untuk menghentikan operasi PLTU secara bertahap mulai tahun 2023 kemarin. Total kapasitas listrik PLN terpasang saat ini sebesar 74.000 MW. Yang dibangkitkan melalui PLTU sebesar 37.000 MW.

Baca Juga: Pemkab Sleman Luncurkan Kartu Kredit Pemerintah Daerah, Ini Manfaatnya

Artinya, secara perlahan, sampai tahun 2060, daya listrik 37.000 itu akan diganti dengan energi baru terbarukan (EBT). Atau energi hijau yang tidak polutif: energi surya, air, angin, geothermal.

Hal ini tentu berdampak serius pada bisnis batubara. Pun, saat ini semua PLTU sudah mengadakan kontrak pengadaan batubara berjangka panjang dengan perusahaan-perusahaan raksasa seperti: Bukit Asam, KPC, Adaro, Arutmin, dan sebagai. Semua kuota dalam negeri sudah terpenuhi.

Peluang pasar lebih terbuka untuk ekspor. Tetapi juga harus diingat akan terjadinya penurunan konsumsi berkenaan dengan transisi dari energi batubara ke energi hijau.

Baca Juga:Malioboro dan Warisan Sastra, Mengenang Jejak Umbu Landu Paranggi di Yogyakarta

Seperti diberitakan S & P Global bahwa permintaan batubara Eropa akan turun di bawah 300 juta metric ton pada tahun 2025. Ini adalah tantangan pebisnis baru di tambang batubara seperti Muhammadiyah. Apalagi index harganya bergerak explosive dan ekstrim. Kadang naik tajam dan sering turun tajam.

Ketidakstabilan harga ini yang membuat banyak penambang batubara kolaps. Tercatat ada empat puluhan perusahaan dalam negeri yang tidak mampu menambang lagi. Hal ini perlu diantisipasi melalui partnership yang kuat dengan pemain-pemain international dalam perdagangan batubara.

Salam hormat
Nurkhamid Alfi

Related posts