BacaJogja – Politisasi agama sering mencuat menjelang tahun politik 2024. Menyikapi hal itu, Masyarakat Damai Yogyakarta secara tegas menolak politisasi agama atau lazim disebut dengan politik identitas.
Koordinator Masyarakat Damai Yogyakarta Lilik Krismantoro Putro menyatakan, politisasi agama dalam politik berakibat perpecahan di masyarakat. Agar tercipta masyarakat yang damai, diperlukan langkah antisippasi agar segala bentuk politisasi agama tidak terjadi.
Dia mendorong semua pihak mengantisipasi digunakannya kembali cara-cara tidak etis melalui manipulasi agama dan identitas lainnya demi Pemilu 2024. Politisasi agama untuk Pemilu 2024 merupakan upaya mengorbankan keutuhan dan ikatan kebangsaan serta mengorbankan mereka yang lemah dan minoritas.
Baca Juga: Jaring Caleg Berintegritas, PKB Bantul Gelar Uji Kelayakan dan Kepatutan Bacaleg
“Kami dengan tegas menolak politisasi agama untuk kepentingan sesaat meraih kemenangan Pemilu. Sebelum hal itu terjadi, harus ada Langkah antisipasi dari berbagai pihak untuk mencegah terjadinya praktik tersebut,” katanya usai diskusi bertajuk Menolak Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024 di Wilayah DIY, Jumat, 10 Maret 2023.
Dia menilai politik identitas bukan obat mujarab untuk pemenangan pemilu. Justeru sebaliknya, cara seperti merupakan upaya partai politik yang gagal mengembangkan politik modern dan etis. Politik identitas tidak akan bermakna di tengah masyarakat yang kuat, rasional, melek informasi, dan memiliki social bonding yang tinggi.
Baca Juga: Partai Buruh Bidik Kota Industri di Jateng untuk Pemenangan Pemilu 2024
“Politik identitas tidak akan berdaya menghadapi publik yang resiliens terhadapnya. Perlu dicari model dan cara membangun sebuah masyarakat yang resiliens terhadap manipulasi dan politisasi identitas,” ujarnya.
Dia mengajak semua pihak, khususnya masyarakat DIY agar membangun resiliensi menghadapi ancaman politik identitas 2024. Selain itu, mendukung upaya KPU, Bawaslu, Pemerintah, aparat keamanan, serta partaii dalam mewujudkan pemilu 2024 yang benar-benar demokratis, adil, dan diwarnai nilai-nilai Pancasila.
Guru Besar Universitas Janabadra Yogyakarta Profesor Cungki Kusdarjito mengatakan, membangun kepartaian yang etis, akuntabel, dan transformatif mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemilu berkualitas pada 2024 mendatang. Pilihan elite politik untuk terpaksa menggunakan politik identitas menunjukkan tingginya pragmatisme politik para elit di negeri ini.
Baca Juga: Resmi Jadi Peserta Pemilu 2024, Partai Ummat Target Tiga Besar di DIY
Selain itu, kata dia, etika politik yang kasih rendah serta lemahnya daya kritis publik atas manipulasi politik identitas. “Di sisi lain juga lemahnya social trust dan jejaring mitigasi melalui komunikasi, nilai hidup bersama, dan konsolidasi sosial antarwarga. Hal itu harus dihindari,” ungkapnya.
Menurut dia, sentimen identitas memang sengaja dibangun karena sistem karier politikus di suatu partai juga. “Misalnya menjadi Kepala Daerah dibangun dari sebelumnya jalur parlemen kemudian naik. Tetapi sistemnya tidak seperti itu, ada kader tiba-tiba muncul karena ini mengakibatkan harus dipromosikan untuk bisa menang. Cara promosinya mungkin mengarah ke seperti itu juga (politik identitas),” jelasnya. []