Dua Dunia, Satu Tujuan: Kisah Mahasiswa yang Tetap Nyantri di Yogyakarta

  • Whatsapp
Mursyidah
Mursyidah (Foto: Istimewa)

BacaJogja – Menjadi mahasiswa adalah impian banyak orang. Banyak yang berjuang mati-matian untuk bisa menduduki bangku perkuliahan. Namun, berbeda denganku. Saat itu, menjadi mahasiswa bukanlah sesuatu yang menarik bagiku. Ketika teman-teman seangkatanku sibuk mencari cara untuk masuk perguruan tinggi, aku sama sekali tidak berminat.

Setelah lulus SMA, aku memang ingin melanjutkan pendidikan seperti teman-teman lainnya. Namun, bukan di perguruan tinggi, melainkan di dunia pesantren. Mungkin karena sejak kecil aku banyak berinteraksi dengan pesantren, sehingga bagiku pesantren lebih menarik dibandingkan perguruan tinggi. Kali ini, pesantren yang ingin kutuju adalah pesantren di tanah Jawa.

Read More

Umroh akhir tahun

Sejak dulu, aku mendambakan belajar di pesantren di tanah Jawa, tetapi orang tuaku belum memberi restu. Hingga akhirnya, restu itu kudapatkan. Sebelum berangkat, orang tuaku memberikan beberapa nasihat.

Baca Juga: Peresmian Pelabuhan Gesing: Mendorong Ekonomi Perikanan dan Wisata Bahari di Gunungkidul

“Nduk, kamu benar-benar ingin melanjutkan ke Jawa?” tanya orang tuaku dengan serius, memastikan tekadku.

“Nggih, Pak,” jawabku sambil mengangguk. Aku serius ingin kembali ke dunia pesantren.

“Apa kamu tidak ingin melanjutkan sekolah, Nduk?” tanya Bapak lagi. Entah sudah berapa kali Bapak mengajukan pertanyaan itu.

“Mboten, Pak. Kulo bade ngaos mawon (Tidak, Pak. Saya hanya ingin mengaji),” jawabku tegas. Aku hanya ingin mondok dan sama sekali belum berminat masuk perguruan tinggi.

Baca Juga: Winarti dan Kisah Sukses Kain Perca di Bantul: dari Limbah Tekstil Jadi Kerajinan Bernilai Tinggi

Setelah memastikan tekadku, orang tuaku memberikan beberapa nasihat hingga waktu menunjukkan pukul 23.00, sudah cukup larut dan kami harus beristirahat karena esok akan melakukan perjalanan jauh.

Keesokan harinya, tibalah waktu di mana kami harus berangkat ke tanah Jawa. Kami memulai perjalanan dengan berdoa bersama agar perjalanan kami lancar dan selamat sampai tujuan. Perjalanan dari rumah ke Jawa memakan waktu sekitar satu hari satu malam, tetapi perjalanan kali ini lebih lama, sekitar dua hari satu malam. Kami singgah ke beberapa rumah sanak saudara untuk berpamitan dan meminta doa.

Tidak terasa, kami tiba di Pelabuhan Bakauheni, dan aku masih merasa seperti bermimpi akan meninggalkan tanah Sumatera. Suasana di pelabuhan tidak begitu ramai, sehingga penyeberangan ke Merak pun tidak memakan waktu lama.

Baca Juga: Pemanfaatan Sampah Organik untuk Budidaya Lidah Buaya, Solusi Pertanian di Yogyakarta

Setelah melewati beberapa kota, kami akhirnya tiba di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota pelajar. Karena kelelahan, kami mencari tempat untuk beristirahat. Setelah merasa cukup beristirahat, kami segera menuju pesantren untuk bertemu dengan kiai, pengasuh pesantren, guna menyampaikan niatku untuk mondok. Di dunia pesantren, proses ini dikenal dengan istilah “sowan,” di mana orang tua menyampaikan kehendak anaknya untuk mondok.

Di kediaman pengasuh pesantren, pertanyaan yang sering dilontarkan oleh orang tuaku kembali terdengar, tetapi kali ini datang dari Kiai.

“Nduk, kenapa tidak kuliah?” tanya beliau.

“Tidak apa-apa, Bah. Saya tidak minat kuliah,” jawabku.

Baca Juga: Serikat Pekerja Tembakau DIY Tolak Kebijakan Kemasan Polos, Calon Wawali Wawan Hermawan Angkat Bicara

Setelah berbincang dengan Kiai dan menyampaikan niatku, orang tuaku berpamitan. Itu berarti aku diterima di pesantren dan harus tinggal di sana. Namun, sebelum ke asrama, aku kembali bersama keluargaku ke tempat istirahat untuk mengambil perlengkapan yang sudah kusiapkan. Sejak saat itu, aku resmi menjadi santri dan menjalani kehidupan sebagaimana santri lainnya.

Setengah tahun kemudian, pertanyaan yang sama kembali datang, kali ini dari Ibuku.

“Kamu tidak ingin kuliah?” tanya Ibu, seakan menunjukkan kekhawatirannya.

“Ibu takut kamu menyesal di kemudian hari,” lanjutnya.

Penjelasan Ibu membuatku berpikir lebih jauh. Kali ini, aku memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain karena kekhawatiran Ibu, banyak santri di pesantren yang kuliah sambil nyantri. Keputusan ini kusampaikan kepada orang tuaku, dan kabar tersebut membuat mereka bahagia. Mereka memintaku segera mendaftar ke beberapa kampus, terutama kampus negeri.

Baca Juga: Keajaiban Alam Tersembunyi: Penemuan Gua Jutaan Tahun di Lokasi Proyek JJLS Gunungkidul

Setelah mencari informasi, aku memutuskan mendaftar di kampus swasta karena pendaftaran kampus negeri sudah tutup. Ternyata, menjadi mahasiswa tidak semudah yang kupikirkan. Dari beberapa kampus yang kudaftarkan, tidak ada yang menerima.

Seorang temanku kemudian menyarankan mendaftar di kampus yang tidak jauh dari pesantren dan masih berafiliasi dengan keluarga pesantren. Aku pun mengikuti saran tersebut dan mendaftar dengan membawa berkas-berkas yang diperlukan. Setelah tes dan wawancara, aku kembali ke pesantren menunggu hasil. Singkat cerita, aku diterima di Universitas Alma Ata.

Sejak saat itu, aku menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Selain harus mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas, aku juga tetap menjadi santri yang memiliki tanggung jawab mondok.

Penulis Artikel : Mursyidah
Ekonomi Syariah  Fakultas Ekonomi dan Bisnis  Universitas Alma Ata Yogyakarta

Related posts