Oleh: Petrus Selestinus *
Organ-organ Negara di lingkungan Istana Negara (khususnya Mensesneg) harus menjadi instrumen yang kritis, obyektif, efektif dan kompeten untuk menjaga dan menyaring semua informasi di lingkungan lembaga Kepresidenan. Tujuannya agar Presiden Jokowi tidak terjebak dalam ide ugal-ugalan dan plintat-plintut untuk merekrut 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaam (TWK) menjadi ASN pada Bareskrim Mabes Polri.
Gagasan yang disebut secara formil berasal dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang dijelaskan sebagai solusi berkaitan dengan polemik 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK, akan direkrut menjadi ASN pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Bareskrim, sebagai gagasan yang tidak memberi solusi bagi penciptaan iklim ASN yang berwawasan kebangsaan dan menjadi kontraproduktif, karena menunjukan adanya anomali dalam tata-kelola ASN.
Baca Juga: Perlu Kebijakan Strategis Hadapi Pandemi, bukan Sekedar Kompromi Politik dan Ekonomi
Jika saja alasan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merekrut 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, guna memenuhi kebutuhan dan pengembangan organisasi Polri, maka ini juga memberi kesan seakan-akan masing-masing institusi negara memiliki hukumnya sendiri, sehingga dengan mudah membalikan telapak tangan dan mengabaikan TWK yang dilaksanakan oleh Menpan-RB, BKN, Menkum HAM dan KPK.
Presiden Jokowi dan organ-organnya di Istana tidak boleh menyerah kepada desakan kekuatan massa (yang juga tidak banyak) dengan mengabaikan hukum positif yang berlaku dan proses hukum yang sedang atau akan berlangsung. Istana tidak boleh menjadi biang kerok kebijakan yang plintat-plintut, jangan sepelekan dukungan publik terhadap TWK oleh mayoritas yang diam, jika Presiden Jokowi berubah sikap hanya karena tekanan massa.
Tidak Lolos TWK Berlaku Bagi Semua
Sebagai Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mestinya taat azas dan tunduk pada sistem norma, standar, kriteria dan prosedur sebagai suatu kebijakan yang baku dalam satu sistem hukum ASN. Karena itu alasan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bahwa institusi Polri membutuhkan 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk tugas-tugas tertentu di Bareskrim dengan menjadikan mereka ASN di Bareskrim Polri, sebagai gagasan yang menghina BKN, Menpan-RB, Menkum HAM dan Pimpinan KPK.
Kepolisian RI sebagai sebuah organisasi besar dan utama negara dalam Penegakan Hukum dan Ketertiban Umum, maka gagasan merekrut 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi ASN pada Bareskrim, sebagai langkah tidak cerdas, tidak taat azas bahkan merusak sistem hukum.
Baca Juga: Catatan Menteri Luhut saat Mengunjungi Solo Raya dan Yogyakarta
Apalagi pada saat yang sama soal wawasan kebangsaan pada semua institusi negara, saat ini sedang berada dalam ujian berat karena fakta-fakta merambah dan terpaparnya radikalisme pada sejumlah ASN, yang cepat atau lambat akan merusak prinsip Nilai Dasar, Kode Etik dan Pedoman Perilaku ASN yang menjadi prinsip dalam kerja ASN. Dengan demikian, jika seseorang tidak lolos TWK untuk menjadi ASN pada salah satu organ negara, maka ia juga tidak boleh menjadi ASN pada organ negara manapun lainnya termasuk di Polri.
Istana dan Kapolri harus ingat bahwa dalam setiap kegiatan Pelayanan Publik oleh ASN ada misi negara, dan misi negara itu adalah untuk menjaga Integrasi nasional, akibat banyaknya prosentase terpaparnya radikalisme dan intoleransi di kalangan ASN. Pertanyaan yang mengganjal sepenting apakah 56 orang ini bagi kepentingan umum untuk bangsa ini, sehingga TWK harus dikorbankan.
Terpaparnya Radikalisme di Polri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menyadari bahwa persoalan TWK adalah persoalan yang menyangkut kepentingan dan program strategis nasional, yang menuntut setiap insan ASN harus memegang teguh prinsip Nilai Dasar dan Kode Etik serta Pedoman Perilaku ASN pada institusi negara manapun.
Institusi Polri bukan keranjang sampah besar untuk menampung sampah dan limbah dari residu kebijakan negara dalam mengelola ASN.
Peristiwa penganiayaan tahanan Mohammad Kace oleh tahanan Irjenp Pol Napoleon Bonaparte bersama para mantan pentolan FPI di Rutan Bareskrim Polri, harus menjadi catatan penting bagi Kapolri, bahwa ada hal yang tidak beres di dalam institusi Polri. Ada soal yang substantif terkait Nilai Dasar, Kode Etik dan Pedoman Perilaku di internal Polri saat ini, di mana muncul sikap intoleran dan main hakim sendiri seorang Irjen Pol sebagai tahanan di Rutan Bareskrim Polri akibat rendahnya atau terjadi defisit wawasan kebangsaan di kalangan Perwira Polri.
Baca Juga: Sri Sultan HB X Alokasikan Danais Rp50 Juta per Kalurahan untuk Tangani Pagebluk
Karena itu Kapolri dan jajarannya termasuk Kompolnas seharusnya memantau bagaimana sikap dan perilaku 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, yang selama hampir 1 tahun ini, menggambarkan perilaku minusnya wawasan kebangsaan, semua rahasia dapur KPK, BKN, Menpan-RB dan Menkum HAM diumbar ke publik, seakan-akan tidak ada lagi sarana untuk dialog secara santun dan beradab.
Sikap intoleran dan melanggar hukum yang dipertontonkan oleh Irjen Pol Napoleon Bonaparte, termasuk persoalan korupsi yang didakwakan kepada Napoleon Bonaparte, hal itu terhubung dengan persoalan begitu rendahnya wawasan kebangsaan seorang ASN. Karena itu gagasan merekrut kembali 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi ASN pada Bareskrim Polri harus ditolak sekali pun direstui oleh Presiden Jokowi, Mensesneg dan lainnya karena terjebak dalam irama permainan Novel Baswedan dan kawan-kawan dalam polemik panjang yang dimainkan selama ini.
*) Koordinator TPDI dan Advokat Peradi