Oleh : Syafril Sjofyan
Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APP TNI
Tanggal 1 November 2023 sewaktu meresmikan proyek, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, ASN, TNI & POLRI semua harus netral.
Kemudian pada kesempatan lain tanggal 24 Januari 2024 Presiden Joko Widodo menyampaikan tentang hak demokrasi hak setiap orang, Presiden dan Menteri boleh berkampanye, boleh berpihak. Entah siapa yang “membisikan”, sehingga dalam tempo dua bulan pernyataan berbalik. Menjadi Hipokrisi.
Presiden Joko Widodo, sepertinya “tidak bisa membedakan” antara dirinya sebagai personal dan jabatannya sebagai Presiden. Sebagai pribadi Jokowi punya hak politik boleh berpihak. Tapi sebagai Presiden dia terikat sumpah jabatan dengan atas nama Allah. Tentunya lebih tinggi dari aturan. Akan berbuat seadil-adilnya. Pertanyaannya Sumpah Jabatan Presiden ini mau dimasukan kekeranjang sampah. Astagfirullah.
Baca Juga: Empat Hal Ini Tidak Sesuai Sistem Demokrasi Pancasila dan Menganggu Tata Kelola Negara
Analisis kesatu hipokritnya Presiden, bersumber atas ketakutan kehilangan kekuasaan sehingga lupa diri. Sudah diketahui umum bahwa Presiden Joko Widodo ingin memperpanjang masa jabatannya menjadi 3 periode. Partai Pendukung utama yang menjadikan dirinya dia jadi Presiden dua periode (yakni PDI Perjuangan) sangat tidak setuju. Begitu juga dengan keinginan menambah jabatan 2 tahun juga gagal.
Rupanya dari kegagalan tersebut, Paman Usman sang Ketua MK, adik Ipar dari Joko Widodo, paman dari Gibran “menghalalkan segala cara” melakukan Pelanggaran Etika Berat dengan membuat Keputusan MK meloloskan keponakannya Gibran menjadi cawapres. Menurut Tempo anak haram konstitusi.
Selain melanggar Etika Berat, Joko Widodo sekeluarga (Anwar Usman, Gibran, Iriana) juga melakukan dugaan tindakan kriminal berat karena tuntutan hukumannya maksimal 12 tahun, yakni melanggar Pasal 1 angka 5, UU No.28 Tahun 1999 menyatakan: “Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara”.
Baca Juga: Oligarki dalam Parpol dan Ancaman bagi Demokrasi di Indonesia
Mengenai Dugaan Tindakan Nepotisme tersebut oleh Petisi 100 bersama Forum Alumni Perguruan Tinggi Bandung Berijazah Asli (FORASLI) dengan memberikan kuasa kepada 20 orang pengacara. Telah menyampaikan pelaporan kepada Bareskrim POLRI, sudah diterima oleh Kabareskrim dengan nomer agenda PM 499 tertanggal 22 Januari 2024.
Analisis kedua, kekuatiran terhadap kekalahan sang putera mahkotanya Gibran pada pilpres yang akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024. Walaupun sudah di kondisikan dengan mengumpulkan sejumlah surveyor maupun influencer untuk membentuk opini bahwa Parbowo Gibran menang satu putaran. Kenyataannya berat karena angkanya stag. Sementara pasangan lain seperti AMIN malah trendnya menaik.
Semula rejim Joko Widodo (Jokowi) telah berusaha dengan segala cara untuk mengagalkan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Ini pengakuan Prof. Mahfud MD sebagai Menkopolhukam. Dia tidak setuju dan berusaha agar Anies tetap bisa jadi capres. Skenario rejim gagal.
Dalam perjalanan kampanye Anies selalu di “hambat” dengan berbagai cara, mencabut ijin gedung untuk acara secara dadakan. Yang heboh adalah hilangannya videotron Anies yang diluncurkan oleh kreativitas Gen Z. Ini jelas kontraproduktif bagi pasangan Pabowo Gibran. Termasuk dalam empat kali debat yang diadakan oleh KPU.
Dalam debat dan setelah debat Capres Prabowo kelihatan emosi, terkesan marah-marah mulu. Menurut Sri Mulyani, Menkeu jangan pilih pemimpin yang tidak bisa mengendalikan emosi. Gibran dalam debat terlalu banyak gaya dengan gimick lupa dengan kesantunan. Rakyat Indonesia dikenal dengan kesantunannya.
Apalagi bagi orang Jawa, Sunda dan suku lainnya, sangat mejaga sopan santun ketimuran. Sehingga bagi Prabowo dan Gibran debat menjadi kontra produktif. Sehingga Presiden Joko Widodo “marah”, sempat meminta agar tata cara debat dirubah. Untung KPU menolak.
Baca Juga: PDI Perjuangan DIY Peringati Kudatuli, Tegaskan Komitmen Tegakkan Demokrasi
Dari kedua analisis tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi gelap mata lagi. Bagaimana caranya tntuk memenangkan puteranya Gibran. Untuk memperpanjang kekuasaanya terhadap pemerintahan kedepan.
Satu satunya cara melupakan sumpah jabatannya atas nama Allah untuk berlaku adil. Syah jika dinyatakan kalau Presiden Joko Widodo hipokrit. Telah ikut terlibat bukan sebagai pribadi Jokowi, tetapi sebagai Jabatan Presiden. Melalui pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye boleh berpihak. Serta melupakan penyataan sebelumnya yang belum seumur jagung untuk netral. Ini hipokritnya seorang Presiden.
Berbahaya bahwa Presiden dengan jabatannya dan kekuasaannya bisa menggerakan semua institusi yang berada dibawah kekuasaannya, baik secara langsung melalui perintah baik lisan atau tulisan, maupun secara tidak langsung melalui tangan-tangan kekuasaan lainnya untuk berpihak kepada puteranya. Saat ini sudan banyak terjadi.
Baca Juga: Bincang Demokrasi dan HAM di Tembi Rumah Budaya Bantul Yogyakarta
Sehingga keadilan sebagaimana yang di nyatakan dalam sumpah jabatan tidak akan terjadi. Artinya Presiden Joko Widodo melanggar sumpah jabatan. Sudah banyak tuntutan masyarakat dari berbagai pihak tokoh nasional, ulama dan purnawirawan termasuk dari Petisi 100 agar Presiden Jokowi di makzulkan agar Pemilu terlaksana dengan jujur dan adil.
Tentu jika Presiden melanggar sumpah Jabatan yang merupakan perbuatan tercela. Wajar masyarakat akan bergerak untuk menghentikan ketidak adilan tersebut.
Bandung, 25 Januari 2024 []